Sukses

Aviastar, Musibah yang Berulang

Upaya itu tak sia-sia, mereka berhasil menemukan lokasi jatuhnya pesawat nahas itu meski dengan cara yang tak mudah.

Liputan6.com, Jakarta - Kelelahan itu terbayar sudah. Selama 2 hari 3 malam, tim operasi yang dibentuk Polres Luwu bermalam di tengah hutan kawasan Pegunungan Latimojong yang terletak di perbatasan Kabupaten Luwu-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Bukan karena mereka sedang ikut lomba lintas alam atau napak tilas. Mereka tak lain adalah tim pencari lokasi pesawat Aviastar PK-BRM yang hilang kontak sejak Jumat 2 Oktober 2015. Dan upaya itu tak sia-sia, mereka berhasil menemukan lokasi jatuhnya pesawat nahas itu meski dengan cara yang tak mudah.

Logistik yang dibawa sejak hari pertama pencarian terus menipis. Namun, mereka terus bergerak mencari pesawat yang berisi 7 penumpang dan 3 kru itu. Tim juga kesulitan berkomunikasi karena berada di lokasi yang sinyalnya lemah.

Hingga hari ketiga pencarian Twin Otter Aviastar, Badan SAR Nasional (Basarnas) masih berupaya mencari pesawat jenis PKBRM/DHC6 yang hilang kontak di kawasan Kota Palopo, Sulawesi Selatan itu. Namun keberadaan Aviastar masih menjadi misteri.

Belum ada tanda-tanda berarti yang menunjukkan keberadaan pesawat Aviastar dengan nomor penerbangan MV 7503 tersebut.

Kepala Seksi Operasi SAR Makasar Deden Ridwansyah mengatakan, operasi gabungan tengah menuju Teluk Bone, Kabupaten Luwu Sulsel. Pencarian kini difokuskan di 9 titik.

Pesawat Aviastar (Istimewa)

"Belum ada tanda-tanda. Ya kelihatannya hari ini cuaca cukup mendukung untuk melakukan pencarian. Pencarian saat ini diperluas menjadi 9 sektor. Bergeser ke arah Teluk Bone," kata Deden saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Senin (5/10/2015).

Ia mengungkapkan, tim Basarnas kembali menurunkan 2 armada tambahan dari laut. Keduanya juga menuju Teluk Bone. Namun sampai saat ini keberadaan pesawat yang dipiloti oleh Kapten Iri Afriadi tersebut belum juga terlihat.

Keyakinan dan Keterangan Saksi

Tak hanya itu, dalam pencarian ini ada 5 bandara yang digunakan untuk proses pencarian melalui jalur udara. Yakni Bandara Andi Jemma Masambaa, Bandara Bua Luwu, Bandara Pongtiku Tana Toraja, Bandara Bone, dan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.

Kepala Seksi Operasional Basarnas Makassar Deden ‎Ridwansyah mengatakan, 5 bandara tersebut digunakan untuk pencarian, karena sangat dekat dari seluruh lokasi pencarian pesawat Aviastar.

"Jadi Kalau review lokasi pencarian dan kekurangan bahan bakar bisa diisi di 5 bandara tersebut. Tinggal pilih, di mana lokasi yang terdekat dengan tim saja," kata Deden.

Pesawat Aviastar dilaporkan hilang kontak di kawasan Palopo, hingga seorang bocah di India sangat mahir mengemudikan traktor.

Berbekal keyakinan akan informasi dari warga sekitar Pegunungan Latimojong bernama Ummul dan warga lainnya yang melihat pesawat Aviastar terbang rendah di Pegunungan Papaja, tim terus melakukan pencarian. Pegunungan Papaja masih berada dalam kawasan Pegunungan Latimojong yang wilayahnya sangat luas.

"Jadi hanya modal keyakinan dari keterangan saksi mata, tim kemudian langsung melanjutkan penyisiran dan akhirnya berbuah hasil. Bangkai pesawat beserta seluruh korban yang ada di dalam pesawat tersebut ditemukan pada pukul 15.60 Wita," ucap Kepala Bidang Humas Polda Sulselbar Kombes Pol Frans Barung Mangera, Selasa 6 Oktober 2015.

Evakuasi yang Tak Mudah

Kendati telah menemukan lokasi jatuhnya pesawat Aviastar, proses evakuasi para korban tak mudah. Untuk menuju lokasi kejadian di ketinggian sekitar 7.000 kaki, Desa Ulusalu, Kecamatan Latimojong, Tim SAR harus berjalan kaki.

"Tetap evakuasinya menggunakan 4 helikopter, hanya saja untuk bisa sampai pada lokasi jatuhnya pesawat itu memang harus menempuh perjalanan darat," ujar Direktur Operasi dan Latihan Basarnas Brigen TNI (Mar) Ivan Ahmad Rizki Titus di Makassar.

Dia mengatakan, proses evakuasi jenazah korban Aviastar itu memakan waktu sekitar kurang lebih 8 jam perjalanan darat, karena medannya cukup berat untuk menjangkau lokasi.

10 peti jenazah sudah disiagakan untuk menyambut kedatangan korban jatuhnya pesawat Aviastar PK-BRM di pangkalan udara TNI AU yang berada di daerah Mandai, Kabupaten Maros. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Poses evakuasi korban Aviastar, kata dia, menggunakan tandu setelah dimasukkan ke dalam kantung jenazah yang telah dipersiapkan.

"Dari Desa Ulusalu, personel jalan kaki lagi tidak bisa naik mobil ke Desa Gamaru karena memang daerah pegunungan. Itu memakan waktu sekitar 4 jam. Kemudian lanjut lagi pendakian di ketinggian 7.000 kaki atau dua kilometer lebih juga butuh waktu empat jam," jelas dia.

Saat ini Badan SAR Nasional telah berhasil melakukan proses evakuasi terhadap seluruh korban jatuhnya pesawat Aviastar MV 7503. "Hari ini evakuasi dengan jalan darat menuruni Gunung Latimojong membawa 10 jenazah. Sudah semuanya," kata Kepala Humas Basarnas Zainul Thahar kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan, jenazah para korban jatuhnya pesawat Aviastar akan dibawa lebih dulu ke Desa Ulu Salu, baru selanjutnya diterbangkan ke Makassar, Sulawesi Selatan. Telah disiapkan 4 helikopter untuk mengangkut jenazah tersebut.

Upaya evakuasi badan pesawat Aviastar di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Selasa pagi kembali dilanjutkan.

Pesawat Twin Otter Aviastar hilang kontak pada Jumat 2 Oktober 2015. Pesawat itu berangkat dari Bandara Andi Jemma Masambaa, Luwu Utara, Sulawesi Selatan pukul 14.25 Wita menuju Makassar. Pesawat tersebut membawa 7 penumpang dan 3 kru.

Sebanyak 7 penumpang yang berada di dalam pesawat jenis PKBRM/DHC6 milik Aviastar dengan nomor penerbangan MV 7503 itu bernama Nurul Fatin M, Lisa Falentin, Riza Arman, Sakhi Arqam, M Natsir, dan 2 bayi bernama Afif dan Raya.‎ Selain ketujuh penumpang, terdapat 3 kru masing-masing Kapten Iri Afriadi, Kopilot Yudhistira, dan teknisi bernama Sukris‎.

Kejadian berawal pada pukul 14.25 Wita pesawat tersebut take off dari Bandara A. Jemma Masamba. Kemudian 11 menit setelah take off pesawat dinyatakan hilang kontak dari menara pemantau Bandara A. Jemma Masamba.

Musibah yang Berulang

Jatuhnya Aviastar menambah daftar kecelakaan pesawat sepanjang tahun ini. Sebelumnya, pesawat Trigana Air jenis ATR 42 jatuh di Kamp 3 Distrik Okbape, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Pesawat dengan nomor registrasi PK-YRN dan rute penerbangan Jayapura (Sentani)-Oksibil tersebut hilang kontak pada Minggu 16 Agustus sekitar pukul 14.55 WIB.

Pesawat Trigana ini membawa 49 penumpang terdiri dari 44 orang dewasa, 2 anak, dan 3 bayi. Burung besi itu diawaki pilot Kapten Hasanudin, FO Ariadin, pramugari Ika N dan Dita Amelia, serta teknisi Mario. Total 54 orang. Semuanya tak ada yang ditemukan selamat.

Upacara serah terima jenazah korban kecelakaan Trigana Air di Kompleks Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (19/8). Sebanyak empat jenazah telah dievakuasi dari Bandara Oksibil ke Bandara Sentani di Jayapura. (AFP PHOTO/Indrayadi Thamrin)

Kemudian, pesawat Hercules C-130 dengan nomor ekor A-1310 jatuh dengan posisi terbalik di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara, Selasa 30 Juni 2015 sekitar pukul 11.50 WIB. Pesawat tersebut lepas landas dari Pangkalan Udara Suwondo, Medan, sekitar pukul 11.48 WIB.

Pesawat keluaran 1960-an itu hendak menuju Kepulauan Natuna untuk menjalankan misi Penerbangan Angkutan Udara Militer (PAUM), yakni pengiriman logistik.

Burung besi yang dipiloti Kapten Pnb Sandy Permana itu sempat menghubungi menara Air Traffic Control (ATC) 2 menit usai take off dan menginformasikan telah terjadi kerusakan.

Saat itu, pilot Hercules juga meminta return to base (RTB) atau kembali ke Lanud Suwondo. Belum sempat dibalas, ATC sudah kehilangan kontak. Pesawat kemudian diketahui jatuh di Jalan Jamin Ginting.

Pihak TNI mengungkapkan 122 orang tewas dalam kecelakaan itu. "Tadi sore memang pernyataannya 101 penumpang, karena anak kecilnya belum terhitung. Data terbaru dari manifes yang paling baru di Medan ada 122 korban yaitu 110 penumpang dan 12 kru pesawat," jelas Kadispen Angkatan Udara Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto ketika dihubungi, Selasa 30 Juni 2015 malam.

Sejumlah Petugas berusaha melakukan evakuasi pesawat Hercules C-130 yang jatuh di kawasan perumahan di Medan, Selasa (30/6/2015). Hercules C-130 milik TNI AU jatuh tidak lama setelah lepas landas. (AFP PHOTO/Kharisma Tarigan)

Yang paling menjadi perhatian adalah saat pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak di perairan antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan dengan titik koordinat 03.22.46 LS dan 108.50.07 BT dengan membawa 155 orang penumpang yang 6 orang di antaranya anak-anak dan seorang bayi.

Burung besi nahas tersebut berangkat dari Bandara Juanda Sidoarjo pukul 05.12 WIB menuju Singapura. Peristiwa yang terjadi pada 28 Desember 2014 itu terus berlanjut dengan pencarian panjang selama lebih dari 2 bulan berikutnya.

Jika dilihat dari sisi Indonesia, maka 3 musibah yang menimpa Hercules TNI AU, Trigana dan Aviastar sepanjang 2015 terhitung sering untuk moda transportasi udara. Karena itu, sudah saatnya pemerintah meneliti secara serius penyebab terjadinya musibah tersebut.

Jika semua musibah itu karena pesawat yang tidak laik terbang atau kesalahan manusia, tentu harus ada pembenahan. Kelemahan kita yang sangat umum terjadi dalam banyak hal adalah, baru tersadar ketika musibah telah datang. Tak ada kesadaran untuk melakukan antisipasi sejak awal atau menunggu musibah datang.

Untuk kasus ini, khususnya moda transportasi udara, pembenahan harus terus menerus dilakukan. Tak boleh ada celah kesalahan, karena saat pesawat mengudara, tak ada bengkel yang bisa didatangi dan tak bisa pula menepi atau berhenti sejenak ketika masalah tiba. (Ado/Ron)

Â