Liputan6.com, Jakarta - 4 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait putusan mereka yang dinilai melemahkan Komisi Yudisial. Keempat hakim itu adalah Arief Hidayat, Manahan Sitompul, Suhartoyo, dan Anwar Usman.
Menanggapi hal ini, Ketua MK Arief Hidayat saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (15/10/2015) mengatakan, "Ya tidak apa-apa. Itu kan haknya dia sebagai warga negara untuk melaporkan."
Dia menjelaskan, 9 hakim MK dalam bekerja menangani dan memutus suatu perkara tidak bisa diperkarakan ke polisi. Sebab hal tersebut mutlak merupakan kewenangan hakim yang diatur dalam perundang-undangan.
"9 Hakim MK dalam bekerja memutus perkara tidak bisa diperkarakan. Karena itu kewenangan hakim MK dalam menguji undang-undang," kata Arief.
Namun, dia enggan mengomentari laporan ini lebih jauh. Dia menegaskan pelaporan ke polisi merupakan hak seorang warga negara.
"Selebihnya saya tidak mau berkomentar lebih jauh. Itu sudah haknya dia," tukas Arief.
Dokumen
4 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Laporan itu terkait putusan MK dalam uji materi Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, serta Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Pada dokumen surat laporan yang diperoleh Liputan6.com tertulis 4 hakim MK yang dilaporkan yakni Ketua MK Arief Hidayat, bersama Manahan Sitompul, Suhartoyo, dan Anwar Usman. Mereka dilaporkan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang. Pada dokumen itu, pelapor atas nama Lintar Fauzi yang berasal dari Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ).
Pasal-pasal yang diujimaterikan itu mengatur mengenai proses seleksi pengangkatan hakim dilakukan Mahkamah Agung bersama dengan Komisi Yudisial (KY). Atas putusan itu, maka KY tidak lagi punya wewenang terlibat dalam proses seleksi pengangkatan hakim.
MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, serta Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Advertisement
Pasal-pasal yang diujimaterikan itu mengatur mengenai proses seleksi pengangkatan hakim dilakukan Mahkamah Agung bersama dengan Komisi Yudisial (KY).
Dengan putusan ini, MK menyatakan keterlibatan KY dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan TUN inkonstitusional. MK menghapus frasa 'bersama' dan frasa 'dan Komisi Yudisial' dalam Pasal 14A ayat(2) dan (3) UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) UU Peradilan Agama, serta Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU Peradilan TUN. MK menyatakan, kedua frasa itu bertentang dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK kemudian juga mengubah norma pada pasal-pasal dalam 3 undang-undang itu menjadi, "Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan TUN dilakukan oleh MA." MK juga menjadikan norma dalam pasal-pasal 3 undang-undang itu menjadi berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung." (Bob/Sss)