Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo dan Pimpinan [DPR](DPR "") sepakat untuk menunda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, revisi UU ini masih tercatat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan, baik revisi maupun rancangan UU yang masuk ke Prolegnas, tidak asal sembarang dicabut karena harus melewati persetujuan DPR.
"Enggak bisa sembarang cabut, kalau dihilangkan harus lewat persetujuan DPR juga," kata Yasonna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Menurut Yasonna, pemerintah dan DPR harus berembug untuk mencari penyempurnaan UU KPK yang paling tepat. Terpenting, sambung dia, revisi itu tak boleh digunakan untuk melemahkah KPK.
"Kita lihat nanti, kan enggak bisa sepihak saja, DPR pun kan harus kita dengar. DPR pun harus mendengar pemerintah juga, jadi harus dibicarakan secara matang. Kalau namanya melemahkan pastilah tidak kita mau, menyempurnakan itu yang kita mau," tandas Yasona.
Revisi UU KPK masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015. Sejauh ini ada 6 fraksi yang setuju mengusulkan revisi UU tersebut.
Mereka adalah Fraksi PDIP (15 anggota), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (2 anggota), Fraksi Hanura (3 anggota), Fraksi Nasdem (11 anggota), Fraksi Golkar (9 anggota), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (5 anggota).
Sedangkan 4 fraksi lainnya, yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tidak ikut mengusulkan. (Dms/Mvi)
Menkumham: Revisi UU KPK Tidak Bisa Asal Cabut
Baik revisi maupun rancangan UU yang masuk ke Prolegnas tidak asal sembarang dicabut karena harus melewati persetujuan DPR.
Advertisement