Liputan6.com, Jakarta - Sudah genap setahun Wakil Presiden Jusuf Kalla mendampingi Presiden Jokowi memimpin Republik ini. Dan selama 1 tahun ini pula pria yang karib disapa JK itu kerap menunjukkan kegarangannya.
JK bahkan tak pilih-pilih. Ketegasannya kerap diarahkan pada negara-negara lain yang dirasa menyepelekan Indonesia.
Dia tak akan segan-segan 'menyemprot' pemerintahan negara-negara tetangga tanpa pandang bulu. Dari Filipina hingga Australia, pernah menjadi objek kegarangan pria berkumis tipis tersebut.
Salah satunya terekam pada April 2015 lalu. Saat itu JK menunjukkan ketegasannya pada Australia yang berkali-kali memprotes kebijakan hukuman mati Indonesia terhadap para gembong narkoba.
Buat JK, tak ada tawar-menawar. Penegakan hukum adalah harga mati. "Bagi kita, ya senang atau tidak, ini masalah hukum yang berlaku di Indonesia," ucap suami Mufidah Kalla tersebut waktu itu.
Tak cuma itu, masih ada sederet kegarangan JK yang dihimpun Liputan6.com, Selasa (20/10/2015):
Australia Harus Hormati Indonesia
Pemerintah Australia menarik duta besarnya untuk Indonesia setelah dua warganya Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada Rabu dinihari 29 April 2015. Kabar itu pun sampai ke telinga JK.
JK menegaskan, meski tidak senang dengan eksekusi mati dua warga negaranya, Australia tetap harus menghormati hukum Indonesia. Apa yang diputuskan sudah melalui proses panjang dan tidak ada hak hukum terpidana yang dilanggar.
"Bagi kita, ya senang atau tidak, ini masalah hukum yang berlaku di Indonesia. Dan yang menentukan itu, sekali lagi hakim yang memutuskan hukuman mati," ucap JK di Kantor Wapres, Jakarta pada Rabu 29 April 2015.
Meski begitu, menurut JK, reaksi keras Australia tersebut tak perlu ditanggapi berlebihan. Menurut dia, penarikan dubes biasa dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan suatu negara yang dianggap merugikan.
"Kalau dia bereaksi keras dan menarik dubesnya itu perkara biasa dalam hubungan diplomatik suatu negara. Jadi menandakan ketidaksenangannya," tutur mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.
"Kita juga sering begitu, kembalikan dubes dari Australia, dari Brasil, biasa saja. Hubungan diplomatis bukan sekali ini saja, itu biasa saja," ujar JK.
Advertisement
Jangan Salahkan Indonesia
Karena kekayaan hutannya, Indonesia kerap disebut sebagai paru-paru dunia. Bila ekosistemnya rusak, dampaknya akan berpengaruh pada seluruh dunia.
Seperti bencana kabut asap yang kerap kali diekspor ke negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Karena itu tak jarang Indonesia disalahkan dan dikecam.
Namun menjaga ekosistem merupakan tanggung jawab dunia, bukan hanya tugas Indonesia saja. Hal itulah yang ditegaskan Wapres Jusuf Kalla.
"Menjaga hutan bukan tugas Indonesia dan negara-negara tropis saja," ucap JK dalam acara Tropical Landscapes Summit: a Global Investment Opportunity di Hotel Shangri-La, Jakarta pada 27 April 2015 lalu.
Padahal, menurut dia, kerusakan alam di Indonesia tak cuma disebabkan negeri ini sendiri. Ada pula andil dari negara lain. JK menuturkan 50 tahun lalu hutan di Indonesia belum ada yang dirusak, masih asri dan hijau. Namun negara-negara maju datang dan mulai melakukan eksploitasi dengan tidak bertanggung jawab.
"Saya bilang 50 tahun lalu, hutan kita bagus 100 juta hektare dan siapa yang hancurkan? Itu negara-negara maju. Kita nggak tahu cara hancurkan hutan sampai Amerika bawa Caterpillar dan hancurkan hutan. Setelah mereka datang, perusahaan Jepang datangkan Komatsu dan hancurkan (hutan) lebih banyak lagi. Korea datang dengan Hyundai," jelas dia.
"Jika Anda ingin lakukan mitigasi perubahan iklim, jangan salahkan negara tropis seperti Indonesia dan Brasil. Tapi tetap pakai furnitur murah dari kami, Anda harus bayar lebih mahal," tambah JK. "Kita harus kerja sama untuk memberantas yang merusak hutan kita."
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) ini menuturkan, saat ada kabut asap, pihak Singapura dan Malaysia memprotes pemerintah Indonesia. Namun pemerintah tidak pernah dan tidak akan meminta maaf kepada negara-negera yang terkena imbas.
"Karena 10 dan 11 bulan mereka menikmati iklim bagus dari hutan kita, tapi mereka tidak bilang terima kasih, cuma 1 bulan (insiden asap) saja mereka komplain," ujar JK.
Singapura Jangan Cuma Bicara
Wapres JK pun jengah mendengar Singapura yang berulang kali memprotes ekspor asap itu. Dia menyatakan, selama ini Pemerintah Indonesia sudah berusaha keras untuk memadamkan kebakaran api. Namun sulit untuk memadamkan kebakaran hutan dalam waktu singkat.
"Singapura bisa ikut lihat sendiri. Singapura, silakan kalau mau membantu. Jangan hanya bicara," kata JK di New York, Amerika Serikat pada 28 September 2015. "Persoalannya kebakaran di Indonesia, selain cuaca yang panas, juga dibantu dengan angin," tutur dia.
"Segala usaha yang mampu kita lakukan, harus dilakukan, karena ini efeknya sudah ke negara lain. Kalau negara-negara lain merasa ingin ikut membantu silahkan," ujar pria berkacamata itu.
Dan Singapura benar-benar menurunkan bantuannya. Negeri Singa itu mengirimkan pesawatnya untuk membantu melakukan pengeboman air demi memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan.
Belakangan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau menetapkan perusahaan asal Singapura sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan.
Hal itu dilakukan penyidik setelah menemukan bukti cukup tentang keterlibatan perusahaan tersebut membakar puluhan hektar lahan di Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu
Advertisement
Protes Arab Saudi
Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK pun memprotes keras tindakan Pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi mati 2 tenaga kerja Indonesia (TKI) Siti Zaenab dan Karni binti Medi Tarsim. Keduanya dieksekusi mati tanpa notifikasi kepada Pemerintah RI.
"Ya, diprotes lagi. Lebih keras lagi (atas eksekusi tanpa notifikasi)," kata JK di Kantor Wapres, Jakarta pada 17 April 2015.
Protes keras, kata JK, sudah diutarakan langsung Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada Dubes Arab Saudi untuk Indonesia Mustafa Ibrahim Al-Mubarak. Menurut dia, Arab Saudi seharusnya mendapatkan sanksi karena tidak memberikan notifikasi.
"Kita sudah panggil dubes-nya (Dubes Arab Saudi). (Kita juga) minta Menlu protes itu agar (Arab Saudi) diberikan (nota protes), seperti hukum internasional lah," tutur JK.
Sebelumnya, pemerintah telah melakukan upaya penyelamatan terhadap warganya yang terancam hukuman mati. Sepekan sejak dilantik, Menlu Retno Marsudi meminta kepada Tim Kemlu segera mulai edukasi kepada publik mengenai hukuman mati WNI di Saudi.
Khususnya terkait dengan 2 WNI yang dipandang paling kritis kondisinya, yaitu Zaenab binti Duhri Rupa dan Karni binti Medi Tarsim.
Presiden Jokowi juga 2 kali menyampaikan surat kepada Raja Abdullah (Januari 2015) dan Raja Salman (Februari 2015). Surat tersebut pada intinya memintakan bantuan Raja untuk memberikan penundaan eksekusi dalam rangka mengupayakan pemaafan. Meski penundaan sudah diberikan berkali-kali, kata maaf tak kunjung datang hingga saat eksekusi tiba.
Tak Sesuai Etika
JK kembali harus mengeluarkan ketegasannya untuk menghadapi Australia. Hal ini terkait dugaan suap Australia terhadap kapal imigran.
Australia diduga membayar kapten dan kru kapal pengangkut imigran asal Bangladesh, Sri Lanka, dan Myanmar agar membawa kembali kapal tersebut ke wilayah RI. Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menilai, tindakan Australia menyalahi etika.
"Namanya menyogok kan artinya? Orang saja menyogok salah, apalagi negara menyogok," ujar JK di Istana Wakil Presiden, Jakarta
"Tentu tidak sesuai dengan etika-etika yang benar dalam hubungan bernegara," imbuh dia.
Atas kejadian ini, JK mengimbau agar prajurit TNI AL bersiaga dan mengamankan perbatasan. Ini menjadi tugas berat aparat, karena RI dan Australia dipisahkan Samudera Hindia.
"Jangan lupa Australia-Indonesia luas sekali, dia punya perbatasan. Luas sekali Samudera Hindia itu. Tapi tentu pasti dijaga itu (oleh TNI AL)," ujar JK.
Advertisement
Tak Boleh Tinggalkan RI
JK juga tegas pada Filipina. Hal ini terlihat saat Filipina mengikutsertakan terpidana mati kasus narkoba asal Filipina Mary Jane dalam penyelidikan kasus dugaan perdagangan manusia yang turut menimpanya.
Untuk kepentingan penyelidikan Filipina itulah pemerintah menunda sementara eksekusi mati Mary Jane. Sehingga perempuan tersebut terhindar dari eksekusi mati jilid II.
Namun begitu Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menegaskan, Mary Jane dilarang meninggalkan Indonesia. Meskipun kesaksiannya masih dibutuhkan Filipina. Jika mau, kata dia, penyidik Filipina diperbolehkan datang ke Indonesia.
"Tentu tidak (tak boleh meninggalkan RI), karena dia dalam keadaan terhukum di Indonesia. Ya, penyidik di Filipina dapat datang ke Indonesia," kata JK di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis 30 April 2015.
JK menjelaskan, dirinya turut mendukung otoritas Filipina mengungkap kasus sindikat narkoba tersebut. Karena dengan begitu, sambung dia, maka penyebaran narkoba dapat diminimalisasi.
"Kita harapkan masalah di pengadilan atau penyelidikan di Filipina itu, tentang otak daripada yang menggerakkan Mary Jane itu dapat dibongkar, dan untuk membongkar itu perlu Mary Jane jadi saksi. Itu penting sekali untuk kita. Karena penting juga ini (tahu) siapa otaknya, siapa penggeraknya," ujar dia.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menjelaskan, penundaan eksekusi mati Mary Jane merupakan bentuk perhatian Pemerintah Indonesia terhadap masalah kemanusiaan, bukan masalah hukum. (Ndy/Sun)