Sukses

Masinton PDIP: Pansus Pelindo II Akan Pertanyakan Opini Jamdatun

Pansus Pelindo II mencium ada aroma kongkalikong dan kolusi diantara Direktur Pelindo II RJ Lino dengan oknum di Kejaksaan Agung.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Pansus Pelindo II DPR Masinton Pasaribu menilai surat yang dijadikan dasar bagi Pelindo II untuk memperpanjang konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT), sebenarnya hanya bersifat opini dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung.

"Kami melihat itu hanya opini Jamdatun yang dijadikan dasar oleh Pelindo II untuk melakukan perpanjangan konsesi kontrak JICT dan Hutchinson. Tapi secara hukum kita tanyakan nanti, karena sebenernya kan ada UU Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 yang mengatur regulasi dan operator," jelas Masinton di Gedung DPR, Senayan, Rabu, (28/10).

Dikatakan Politikus PDI Perjuangan itu, ada kesan pihak Kejaksaan Agung tampak sengaja mengabaikan keberadaan UU 17/2008 yang bersifat lex specialis, dan hanya berpaku pada KUH Perdata.

"Seharusnya yang lebih specialis adalah UU nomor 17 itu yang menjadi dasar opini jamdatun itu," imbuh Masinton.

Masinton juga menduga, adanya aroma kongkalikong dan kolusi diantara Direktur Pelindo II RJ Lino dengan oknum di Kejaksaan Agung. Karena itulah pihaknya mengundang Jaksa Agung Prasetyo untuk menelusuri dugaan itu.

"Ya bisa saja ada pelanggaran hukum, tergantung temuan nanti, kita akan terus selidiki," kata Masinton.

Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya hadir di Pansus Pelindo II pada Selasa, 27 Oktober lalu, untuk menjelaskan perihal pendapat hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Negara yang menjadi landasan Dirut Pelindo II RJ Lino memperpanjang konsensi dengan JICT.

Namun rapat itu batal dilaksanakan karena sebagian pimpinan dan anggota Pansus tidak datang. Rapat itu ingin mengetahui keterlibatan oknum di Kejaksaan Agung RI adalah bagian dari kolusi dan rantai permainan oknum Pelindo II, yang kemudian menginspirasi pembentukan Pansus di DPR RI itu.

Ihwal keterkaitan Kejaksaan Agung itu sendiri adalah terkait perpanjangan konsesi pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta JICT kepada perusahaan asal Hong Kong, Hutchison Port Holdings pada 2014.

Perpanjangan hingga 2039 itu dilakukan sebelum batas waktunya dan mendadak, dengan nilai kontrak yang lebih rendah dari nilai kontrak awal. Bahkan, perpanjangan juga dilaksanakan tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur UU. Yakni syarat pendahuluan seperti dimuat dalam UU 17/2008.

Belakangan, Lino berani memperpanjang kontrak itu karena yakin tak akan ada masalah hukum setelah mendapatkan fatwa dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).

Dokumen itu dikeluarkan oleh pejabat Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak, Agoes Djaja. Surat atau fatwa ini yang dijadikan dasar bagi perusahaan itu memperpanjang konsesi JICT. (Dms/Sss)