Sukses

Cerita Anggota LBH Diduga Dianiaya Oknum Polisi

Anggota LBH Jakarta bersama puluhan aktivis buruh lintas serikat pekerja mengklaim menjadi korban dugaan penganiayaan oknum polisi

Liputan6.com, Jakarta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama puluhan aktivis buruh lintas serikat pekerja, mengklaim menjadi korban dugaan penganiayaan oknum polisi. Kejadian itu berlangsung saat mereka menggelar aksi damai di depan Istana Negara, Jumat 30 Oktober 2015.

Asisten pengacara publik LBH Jakarta Obed Sakti Luitnan menceritakan kronologi kejadian. Dia mengungkapkan saat dirinya mendapatkan perlakuan kasar yang diduga dari oknum Kepolisian.

"Saat itu saya berada di dekat pospol (pos polisi) melihat polisi memukul buruh. Saya mencoba mendokumentasikan namun para polisi menyuruh saya menghapus. Saya lari, dan polisi mengejar. Akhirnya saya pun disekap polisi. Padahal saya sudah bilang dari LBH tapi tetap ditangkap," ujar Obed di kantor LBH Jakarta, Senin (2/11/2015).

Dia pun menuturkan, saat ditangkap dan dibawa ke sebuah mobil, dirinya masih terus mendapatkan siksaan. Bukan hanya siksaan fisik, Obet mengungkapkan, dirinya juga mendapat tekanan psikis.

"Saya diseret, ditendang kepala saya, tangan saya. Kacamata saya jatuh dan pecah, sepatu saya terlepas. Terus ada yang bilang 'habis lu ama gue entar'," cerita Obed.

Di tempat yang sama, Pengacara publik LBH, Tigor Gempita Hutapea mengaku ditangkap saat mencoba mendokumentasikan aksi brutal polisi kepada rekannya,  Obed.

"Saya mau mendokumentasikan kekerasan polisi sebagai bukti. Tapi tiba-tiba saya dikerumuni polisi dan menyeret serta memukuli saya secara membabi buta," tutur Tigor.


Bukan hanya para anggota LBH saja, salah satu buruh yang ditangkap polisi, Sahrul juga mengaku mendapat perlakuan yang sama. Dia mengaku dipukul di sekujur tubuhnya menggunakan bambu.

"Kepala dan badan saya memar. Kami tidak ingin berbuat rusuh malah polisi yang berbuat represif," ujar Sahrul.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Mohammad Iqbal sebelumnya mengatakan, pihaknya sudah menjalankan Standar Operasi Prosedur (SOP) dalam membubarkan aksi buruh. Pada saat kejadian, Kapolres Jakarta Pusat Kombes Hendro Pandowo sudah mensomasi mereka pada pukul 18.00 WIB, 18.30 WIB dan 19.15 WIB, namun tidak diindahkan.

"Somasi tidak diindahkan. Kapolres lalu menyosialisasikan akan ada pembubaran paksa. Ini adalah SOP. Demi kepentingan yang lebih besar. Itu pun simbol Kepolisian disampaikan dulu," ujar Iqbal.

Dia menjelaskan, simbol Kepolisian yang dimaksud adalah mengarahkan tembakan air dari kendaraan taktis Water Cannon ke atas. Namun pihak buruh dinilai tidak kooperatif dengan bersikeras bertahan di depan istana.

Akhirnya tembakan Water Cannon pun diarahkan ke arah massa buruh. Selain itu, upaya pemaksaan kedua sesuai SOP adalah meletuskan tembakan gas air mata yang akhirnya membuat sebagian massa buruh kocar kacir.

Iqbal menegaskan, pihaknya juga sudah menjalani SOP itu sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dimana, tidak boleh melakukan aksi massa melebihi pukul 18.00 WIB. Karena itu, pihak kepolisian berhak membubarkan massa secara paksa. (Put/Ali)