Liputan6.com, Jakarta - Aksi buruh mewarnai hari-hari di pengujung Oktober tahun ini. Ribuan buruh turun ke jalanan, di Jakarta, Tangerang, Surabaya, dan daerah-daerah lain. Kalangan buruh terus-menerus menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Bulan berganti buruh masih beraksi. Mereka akan melakukan demonstrasi di masing-masing wilayah kerjanya mulai pekan pertama November ini. Para buruh ini dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama asosiasi perburuhan lain, yakni KSPSI AGN, KSBSI, KPBI, KASBI, SPN, FSPMI, dan 60 federasi serikat pekerja lainnya yang tergabung dalam Komite Aksi Upah (KAU).
Aksi-aksi yang dilakukan ini merupakan rangkaian dari aksi sebelumnya terkait penolakan terhadap PP Pengupahan. "Sebagai bentuk penolakan, KAU akan melakukan aksi unjuk rasa dan mogok produksi di berbagai provinsi pada 3-10 November 2015," ujar Sekretaris Jenderal KSPI Muhammad Rusdi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, Senin (2/11/2015).
Aksi akan digelar di sejumlah daerah secara bergantian, yakni Aceh, Medan, Deli Serdang, Batam, Lampung, Serang, Tanggerang, Cilegon, Jakarta, Bekasi, Kerawang, Purwakarta, Subang, Cimahi, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Depok, Semarang, Pekalongan, Solo, Demak, Cilacap, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, Makassar, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Manado, dan Gorontalo.
Rencananya Serang dan Bogor akan menggelar 'hajatan' aksi pada 3 November 2015. Selanjutnya akan disusul provinsi lain yang tengah berkoordinasi untuk menentukan tanggal aksi. "Yang telah siap itu Bogor dan Serang, kemudian tanggal 4 November itu di Medan dan Surabaya. Selebihnya masing-masing masih mencari tanggal," ujarnya.
Tak cukup dengan aksi turun ke jalan, kalangan buruh juga merencanakan aksi mogok nasional selama tiga hari, yaitu pada 18-20 November 2015.
Aksi tersebut rencananya akan diikuti sekitar 5 juta buruh yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Lampung, Bali, dan Makassar.
Pimpinan kolektif Komite Persiapan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPKPBI) Ilham Syah menegaskan aksi mogok tersebut akan dilakukan jika pemerintah tidak membatalkan PP Pengupahan 78/2015. Â
4 Tuntutan dan 4 Alasan
Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan mogok nasional adalah wujud protes keras atas ketentuan pemerintah yang menetapkan formula kenaikan upah sistem baru. Menurut dia, seharusnya kenaikan UMP bisa lebih tinggi.
Hal itu dibuktikan dengan ‎rupiah yang mulai membaik dan ada 16 perusahaan tekstil dan padat karya akan beroperasi dengan menyerap 121 ribu pekerja baru (sebelum ada PP Nomor 78/2015) dan walaupun dibilang ekonomi melambat tapi masih tumbuh 4,6 persen. Menurut dia, itu berarti masih ada penyerapan lapangan kerja baru 1 juta orang.‎
"Jadi kenapa harus buruh yang dikorbankan dengan kembali ke rezim upah murah?" kata Said dalam keterangannya, Senin (2/11/2015).
Setidaknya ada empat poin yang menjadi tuntutan buruh dan sebagai alasan untuk melakukan aksi mogok nasional tersebut:
1. Dicabutnya PP Nomor 78/2015 tentang Pengupahan,
2. Menolak formula kenaikan upah minimum, yakni inflasi ditambah produk domestik bruto (PDB),
3. Menuntut kenaikan upah minimum 2016 berkisar Rp 500 ribuan (kenaikan 25 persen),
4. Berlakukan upah minimum sektoral di seluruh kabupaten/kota dan provinsi dengan besaran kenaikan sebesar 10-25 persen dari UMP/UMK 2016.
"Karena yang dibutuhkan bukan hanya kepastian kenaikan upah, tapi kesejahteraan upah layak dengan negosiasi tripartit di Dewan Pengupahan," ujar Said Iqbal.
Melihat daftar tuntutan tersebut, pencabutan PP Pengupahan oleh para buruh seakan menjadi harga mati. Mengapa kalangan buruh begitu ngotot? Ada beberapa item dalam aturan itu yang mereka tolak.
Pertama, yaitu Pasal 44 PP Pengupahan yang menyatakan bahwa kenaikan upah berdasarkan formulasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat 4.
"Dalam ayat itu disebutkan pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi serta produktivitas," kata Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi .
Kedua, kenaikan upah berbasis formula tetap, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi telah menutup peran Dewan Pengupahan, termasuk serikat pekerja yang ada di dalamnya.
"Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 89 ayat 3 yang menyatakan upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan," tuturnya.
Ketiga, dalam Pasal 49 PP Pengupahan yang mengatur kebijakan upah minimum sektoral mereduksi Pasal 89 ayat 1 yang menyatakan bahwa upah minimum terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten kota dan berdasarkan sektor.
Keempat, Pasal 49 PP Pengupahan juga bertentangan dengan Pasal 88 ayat 2 yang mengamatkan bahwa kebijakan pengupahan harus melindungi buruh dan gubernur bisa menetapkan upah minimm sektoral bila terdapat kesepakatan antara asosiasi sektor usaha dengan serikat pekerja.
"Namun yang terjadi di lapangan, secara prinsip pengusaha akan menghindari adanya penetapan upah. Belum lagi tidak adanya kepengurusan asosiasi sektoral industri di seluruh wilayah kabupaten kota di Indonesia," kata Rusdi.
Advertisement
Jakarta Rp 3,1 juta, Yogya Rp 1,4 juta
Seiring tarik ulur PP Pengupahan antara pemerintah dan buruh, kalangan buruh akan meminta kepala daerah di masing-masing provinsi atau kabupaten kota untuk mengabaikan ketentuan-ketentuan dalam PP Pengupahan. Di sisi lain, buruh juga mengapresiasi keputusan kepala daerah yang telah menetapkan upah minimum tanpa berpatokan pada PP Pengupahan, seperti DKI Jakarta.
"Jika menurut pada PP Pengupahan, upah minimum 2016 DKI hanya mencapai Rp 3,01 juta. Namun sekarang sudah ditetapkan Rp 3,1 juta," kata Rusdi.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyatakan tetap mengikuti PP Pengupahan itu, tetapi menggunakan sistem sendiri yang dinilai lebih menguntungkan buruh. "Kami pasti ikut PP Pengupahan, tapi kami rasa yang di DKI sistemnya lebih menguntungkan buruh," kata dia.
Sistem yang digunakan Pemprov DKI menggabungkan angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ditambah dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dari sistem itu, rapat Dewan Pengupahan DKI Jakarta menelurkan rekomendasi UMP 2016 di angka Rp 3,1 juta.
Bagi kalangan buruh, angka ini masih kurang naik sedikit. Buruh meminta agar UMP DKI dinaikkan menjadi Rp 3,3 juta atau tepatnya Rp 3.349.000. Winarso, selaku pengurus daerah KSPI DKI Jakarta, mengatakan penghitungan itu berdasarkan KHL ditambah angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
.
Sementara itu Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah menetapkan Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK) untuk tahun 2016. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan Upah Minimum Provinsi (UMP), di Kota Gudeg ini besaran upah disesuaikan dengan UMK. Â
Pelaksana tugas harian Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY Sulistyo menjelaskan UMK tahun 2016 sudah ditentukan lebih besar dari hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) DIY dengan 60 komponen yang ada. Dari nilainya, Kota Yogyakarta paling tinggi, yakni Rp 1.452.400, dari sebelumnya Rp 1.302.500. Â
Menurut Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X tidak ada undang-undang ataupun PP Pengupahan yang dilanggar dalam penetapan UMK tahun 2016. "Kalau pakai UMP nanti yang diambilkan dari UMK terkecil, nanti pekerja dan buruh akan dirugikan," kata Sultan di Yogyakarta, Senin (2/11/2015).
Penetapan jumlah besaran UMK tahun 2016 diyakini tidak akan menimbulkan polemik di masyarakat. Kalangan pengusaha dan buruh sudah bersepakat. "Mereka sudah tanda tangan setuju di setiap kabupaten." (Hmb/Yus)**