Sukses

'Tembok Derita' di Bukit Mas Bintaro

Karena tak sepaham soal letak lahan hunian, Denni Akung akhirnya harus merasakan 'penembokan paksa' oleh warga.

Liputan6.com, Jakarta - Kebahagiaan Denni Krisna Putera dan istrinya saat menempati hunian yang baru dibelinya sirna dan berubah jadi teror.

Denni (akrab disapa Denni Akung) yang belum genap dua minggu menempati rumah di Jalan Cakranegara Blok E RT 001/RW 015, Bintaro, Jakarta Selatan itu, harus berurusan dengan warga kompleks.

Tidak tanggung-tanggung, karena persoalan letak lahan yang tak sepaham, rumah pria berusia 41 tahun ini harus ditembok oleh sekelompok warga yang mengatasnamakan Warga Peduli Perumahan Bukit Mas (WPPBM).

Sedihnya lagi, aksi penembokan itu dilakukan warga pada dini hari, saat Denni dan keluarganya sedang terlelap. Tembok yang dibangun dengan material bata hebel itu, hanya menyisakan celah berukuran kurang dari satu meter dan hanya bisa dilewati oleh satu orang.

Tentu saja Denni pun merasa tak leluasa beraktivitas. Sepeda motor dan mobil yang biasa ia gunakan untuk pergi ke kantor tak bisa keluar dari garasi rumahnya.

"Motor juga enggak bisa keluar, karena di bawahnya sengaja dibuat undakan. Tentu saja Aku harus mengorbankan waktu untuk jalan kaki sampai depan kompleks. Seharusnya kalau mereka bijak, dikasih akses," kata Deni kepada Liputan6.com ditemui di rumahnya, Selasa (3/11/2015).

Kondisi rumah Denni Akung yang ditembok warga. (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)

Perjalanan Denni menuju kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan jelas memakan waktu dan ongkos yang tidak sedikit jika ditempuh dari Bintaro. Jika beruntung, terkadang sopir Deni meminjam sepeda motor teman dan mengantarnya hingga depan kompleks perumahan.

Tak cuma Deni yang kesusahan ke kantor, istrinya pun terpaksa ke kantor dengan menggunakan taksi. Padahal mereka seharusnya bisa menggunakan mobil pribadi miliknya. "Kita jadi enggak bisa bareng. Boros biaya dan waktu karena naik taksi. Soalnya bisa 2 jam," imbuh dia.
 
Denni yang bekerja di bidang informasi teknologi (IT) sebagai programer di perusahaan swasta, akhirnya memilih bekerja dari rumah. Hal itu terpaksa ia lakukan demi keamanan dia dan istrinya.

"Gimana lagi, saya terpaksa meminta izin pada kantor untuk bekerja di rumah selama 1 bulan ini. Saya merasa tidak aman kalau begini (ribut dengan warga). Kesannya saya penjahat karena ada konflik dengan warga. Tapi saya akan selalu upayakan mediasi dengan warga," tegas Denni.

Dua Kali Ditembok

Aksi penembokan ini tak hanya sekali terjadi. Juni 2015, saat rumah Denni masih dalam proses pembangunan, warga juga melakukan hal yang sama. Namun karena Denni belum menempati rumah tersebut, ia memilih membiarkan tembok itu berdiri.

Barulah saat Denni ingin menempati rumahnya yang selesai dibangun, ia meminta izin Ketua RT/RW selaku yang berwenang di lingkungan untuk merobohkan tembok yang menghalangi rumahnya tersebut.

23 Oktober lalu, ia pun merobohkan tembok seizin ketua RT/RW dan disaksikan langsung oleh ketua-ketua lingkungan tersebut.

Warga memprotes keras keberadaan rumah Denni lantaran dinilai bukan termasuk wilayah kompleks mereka. Menurut warga lama di kompleks tersebut, rumah Denni seharusnya difungsikan sebagai fasilitas umum (fasum) atau fasilitas sosial (fasos).

Salah satu perwakilan warga Warga Peduli Perumahan Bukit Mas (WPPBM) Rena Mulyana mengatakan, ‎penembokan dilakukan lantaran rumah tersebut berada di luar wilayah kompleks Bukit Mas. Bahkan rumah tersebut seharusnya menghadap ke Jalan Mawar yang ada di luar kompleks, bukan Jalan Cakranegara di dalam kompleks.

"Ini kan sudah ada batasnya. Panel pembatas kita dijebol. Tahu-tahu ada rumah menghadap ke sini," ujar Rena di Kompleks Bukit Mas, Bintaro, Jakarta Selatan, Kamis (5/11/2015).

Rumah tersebut sebelumnya pernah ditembok warga sebagai pembatas kompleks. Saat itu rumah masih milik Heru, belum dijual ke Denni. Pembongkaran dilakukan dengan dalih telah mendapatkan izin Ketua RT, RW, dan sebagian warga setempat.

Namun WPPBM mengaku belum pernah menerima izin tersebut. Kelompok yang mengklaim mendapat dukungan dari 69 KK di kompleks itu mengaku keberatan dan kembali menembok akses rumah tersebut saat sudah dibeli Denni.

"Kami sudah beritahu ke RT, RW, dan pengacaranya kalau mau menembok rumah itu. Kami juga sudah hubungi Denni, tapi enggak bisa. Warga juga sudah nunggu sampai 6 jam," tutur Rena.

Rena pun mengaku sebelumnya sudah mencoba untuk berkomunikasi dengan Denni, sebelum melakukan penembokan. Bahkan dia mengaku sudah pernah beberapa kali menyambangi rumah Denni.

"Kami bahkan sempat mengetuk pintunya. Kami salam 3 kali enggak ada sahutan. Kalau ada orangnya ‎kan seharusnya kelihatan mengintip. Di luar banyak orang," tambah dia.

Dengan adanya tembok ini sang penghuni rumah kesulitan untuk keluar masuk rumah.

Penembokan akhirnya tetap dilanjutkan karena pemilik rumah dianggap tidak ada di dalam. Penembokan ini juga disaksikan oleh perwakilan dari kepolisian, TNI, Ketua RT, RW, dan sejumlah warga.

Penembokan rumah milik Denni ini berlangsung pada Minggu 1 November 2015, sekitar pukul 11.00-14.00 WIB.‎ Saat ditembok, terdapat mobil dan motor Denni di dalam garasi. Namun warga menganggap penghuni rumah tidak ada di dalam karena tak ada sahutan saat dipanggil.

"Itu saya kira mobil di dalam sengaja diparkir saja. Biar seolah-olah ada orangnya," tandas Rena.

Kabar konflik di Kompleks Bukit Mas ini mencuat saat foto sebuah rumah ditutup dengan tembok oleh warga beredar di media sosial, Minggu 1 November. Rumah milik Denni Akung itu dianggap menyalahi aturan.

Menurut warga, rumah Denni Akung berada di luar kompleks dan seharusnya menghadap ke Jalan Mawar. Namun ternyata, rumah tersebut menghadap ke Jalan Cakranegara yang berada di dalam kompleks. Sehingga rumah berlantai 2 itu seolah-olah menjadi bagian dari kompleks perumahan Bukit Mas, Bintaro.

Rena juga mengaku menyesalkan adanya kabar yang menyebut pihaknya meminta uang ‎Rp 200 juta dari Denny. Dana sebesar itu diduga sebagai kompensasi persoalan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) di Kompleks Bukit Mas, Bintaro, Jakarta Selatan.

"Tidak ada itu permintaan uang. Memang pemilik rumah sebelumnya yang bernama Heru ingin memberikan uang kompensasi," kata Rena.

Menurut Rena, selama ini pihaknya sering diopinikan meminta sejumlah uang dengan jumlah yang cukup besar. Uang tersebut digunakan untuk perbaikan berbagai fasilitas umum seperti trotoar dan penghijauan di sekitar kompleks.

Namun pembicaraan dana kompensasi sama sekali bukan inisiatif warga. "Hasil mediasi antara lurah dan sejumlah warga, malah seolah-seolah dipelintir warga ingin dibayar Rp 200 juta. Kita enggak minta apa-apa. Kalau damai itu ya kembalikan fasos dan fasum seperti fungsinya," kata Rena.

Menurut Rena, ‎rumah dua lantai berada di luar panel pembatas perumahan. Namun pembatas antara Perumahan Bukit Mas dan warga sekitar dibongkar. Rumah Denni menghadap ke Jalan Cakranegara, yaitu jalan utama perumahan Bukit Mas. Dengan posisi ini, rumah Denni Akung pun tampak menjadi bagian dari perumahan.

"Jadi ini sebenarnya sudah ada panel pembatas. Kami juga tidak tahu pas dibangun rumah, toh itu urusan dia, di tanah dia," ujar Rena.
‎
Rena dan warga perumahan mengaku keberatan setelah panel pembatas dijebol. Oleh sebab itu, warga menembok rumah Denni sebagai pengganti pembatas perumahan. Jebolnya panel pembatas juga berdampak pada trotoar jalan dan pos penjagaan.

"Lihat saja sekarang pembatas ini sudah enggak ada. Taman rumah dia dibangun di atas trotoar jalan kita. Pos penjagaan kita juga digeser," keluh dia seraya menunjukkan panel pembatas yang terputus karena dijebol.

Rena yang tinggal di Bukit Mas sejak 1996 itu menuturkan, sejumlah warga merasa keberatan dengan keberadaan rumah itu yang menyalahi penempatan lokasi dan izin. Terlebih, Denni telah mengalamatkan rumahnya dengan jalan milik perumahan.

Aksi WPPBM, diakui Rena, mendapatkan dukungan mayoritas warga Perumahan Bukit Mas. Warga mendesak fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang hilang dan berubah akibat pembangunan rumah Denni dikembalikan ke bentuk asal.‎ Seperti mengembalikan panel pembatas, fungsi trotoar, dan menempatkan pos penjagaan di tempat semula.

"Kami ini atas nama mayoritas warga. Yang menandatangani penolakan ada 69 KK dari 106‎ KK. Intinya kami ingin ini diselesaikan dengan damai, yakni dengan mengembalikan fungsi seperti semula," tegas dia.

Komnas HAM

Namun Denni enggan mengubahnya. Sebab, saat dia membeli dari Heru, rumah tersebut ‎sudah menghadap ke Jalan Cakranegara. Kondisi tersebut juga sesuai dengan sertifikat tanah dan dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang ia miliki.

"Saya beli rumah itu Juni sudah alamat Jalan Cakranegara Blok E di sertifikatnya. Dan di petanya juga menghadap ke Cakranegara," ujar Denni saat ditemui di Kompleks Bukit Mas, Bintaro, Jakarta Selatan, Kamis (5/11/2015).

Sementara istri Denni, Ade (31) mengaku enggan terjebak dalam persoalan ini. Ia tak tahu-menahu akar permasalahan antara sekelompok warga dengan pemilik rumah sebelumnya. Saat membeli rumah dari Heru, kondisinya sudah seperti saat ini.

"Kenapa saya enggak mau ngadep ke Jalan Mawar? Karena IMB dan sertifikat saya menghadap ke Cakranegara. Kalau saya menghadap ke Jalan Mawar nanti malah salah. Saya enggak mau terjebak dalam situasi itu. Saya hanya berpatokan pada hukum, bahwa IMB dan sertifikat saya menghadapnya ke Cakranegara," tegas Ade.

Ade juga menolak tudingan ‎telah mengambil tanah fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) di kompleks Bukit Mas. Fasilitas tersebut hingga kini masih berfungsi seperti semula dan berada di depan batas rumahnya. Hanya saja Ade dan Denni menanam rumput di atas tanahnya sebagai bentuk penghijauan.

"Kalau mau menggugat, mau mengembalikan fungsi fasos fasum dan nyuruh menghadap ke Jalan Mawar, ya gugat ke pemerintah dong. Kan yang nerbitin sertifikat sama IMB pemerintah," tandas Ade.

Kuasa Hukum Denni, Djalu Arya Guna, kepada Liputan6.com mengatakan, kliennya
merasa hak asasinya telah diusik. Karena itu dia mengadu ke Komnas HAM melalui tim kuasa hukumnya.

"Kami sudah ke Komnas HAM untuk mengadukan peristiwa penembokan. Berdasarkan Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan pemilik rumah tidak boleh diganggu siapa pun. Kalau dari perspektif HAM, ada dugaan pelanggaran dan disaksikan kepolisian dan polisi tidak berbuat apa-apa," tandas Djalu.

Tidak hanya mengadu ke Komnas HAM, Denni juga mengadu ke berbagai tingkatan pejabat Pemerintah Provinsi DKI. Mulai dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi dan Camat Bintaro Agus Irwanto.

Rumah Denni di Bintaro (Nafiysul Qadar/Liputan6.com)

Jika suratnya tidak ditanggapi dengan tindakan konkret selama seminggu, maka tim kuasa hukum Denni akan mengirimkan surat kedua yang bersifat somasi.

"Penembokan itu di tanah mereka (Pemprov), pembongkaran tembok tersebut hak mereka. Kami menyurati tanggal 2 (November 2015), paling tidak 7 hari setelah itu kami akan menyurati dengan menekankan somasi kepada gubernur jika tidak ditanggapi. Berarti dalam hal ini seolah-olah membiarkan adanya penembokan," terang Djalu.

Menurut Djalu, proses pembangunan rumah kliennya sudah mengikuti prosedur. Kliennya sudah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang sejatinya menandakan pejabat setempat sudah melegalkan pendirian rumah di atas tanah milik Denni.

Dia pun sangsi dengan klaim warga yang menilai jalan depan rumah Denni milik Kompleks Bukit Mas Bintaro. Sebab, pengembang perumahan tersebut mengalami pailit pada 2000 dan menyerahkan fasilitas umum (fasum) serta fasilitas sosial (fasos) ke pemerintah daerah setempat.

"Kalau mereka mengatasnamakan ini jalan milik kompleks, pada 2000 developer mereka kan pailit, makanya developer menyerahterimakan fasum fasos ke Pemda. 15 Tahun kemudian terjadilah jual beli (tanah Denni) dan pemerintah sudah beri izin (dengan IMB)," papar Djalu.

Atas Nama Keamanan

Kapolres Jakarta Selatan Kombes Wahyu Hadiningrat mengatakan, alasan warga kompleks perumahan Bukit Mas Bintaro menembok rumah Denni karena ingin keamanan kompleksnya terjamin.

Padahal Denni sendiri sudah membangun tembok pemisah antara kampung dan kompleks di belakang rumahnya, sehingga satu-satunya akses Denni keluar jalan raya adalah melewati komplek perumahan Bukit Mas Bintaro.

"Dibukalah oleh mereka terkait masalah perizinan, ternyata rumah yang ada di belakang bukan masuk area kompleks, kalau dibuka, dikhawatirkan kompleks tidak aman," kata Wahyu di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu 4 November 2015.

Ia menuturkan, saat ini pihaknya telah mengerahkan anggota di sekitar lokasi untuk mengantisipasi terjadinya bentrok. Ia pun menjelaskan sejauh ini peran polisi hanya sebagai mediator antara warga kompleks perumahan Bukit Mas, Denni dan perangkat lingkungan terkait seperti lurah, camat dan pemerintah kota.

"Kami lakukan pengamanan agar tidak jadi bentrok. Kami hanya memediasi kedua belah pihak dan unsur-unsur terkait. Sejauh tidak ada konflik fisik, materi dan lain-lain, kami tidak lakukan tindakan. Tapi tetap kami lakukan pengamanan," tandas Kombes Wahyu. (Dms/Ans)