Liputan6.com, Jakarta - Sejak masih menggunakan nama Partai Keadilan (PK) pada 1999 hingga bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai ini belum sekalipun berada dalam 3 besar partai politik peraih suara terbanyak dalam setiap pemilihan umum yang diikuti. PKS selalu menjadi partai menengah dalam kancah politik nasional.
Elektabilitas partai yang identik dengan warna putih ini juga merosot tajam setelah ditangkapnya Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian.
Baca Juga
Meski saat ini, tepatnya pada September 2015 melalui Musyawarah Nasional, struktur kepengurusan PKS telah diubah dan pembenahan internal terus berlangsung, banyak kalangan menilai partai yang kini dipimpin Sohibul Iman itu tidak akan menjadi partai yang berkuasa dalam politik nasional.
Advertisement
Menurut Direktur Eksekutif IndoBarometer Mohammad Qodari, perkembangan PKS menuju partai politik besar di Indonesia terhalang oleh faktor internal partai tersebut. Meski sejak awal menggunakan Islam sebagai ideologi.
"Memang tidak mudah dari gerakan dakwah tanpa kekuasaan menjadi anggota dewan yang punya kekuasaan," ujar M Qodari dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (7/11/2015).
"Kader PKS masih gagap ketika bertransformasi menjadi partai politik dari gerakan politik," lanjut dia.
Ketidaksiapan menerima kekuasaan inilah yang dianggap Qodari sebagai salah satu penyebab PKS tergelincir dalam kebijakannya. "Kalau biasanya cuma 'impor' kurma, sekarang 'impor' kuota sapi. Wajar kalau agak tergelincir," ucap dia.
Untuk itu Qodari menyarankan, jika PKS ingin bertahan dalam kancah politik nasional dan menjadi parpol besar, partai ini harus menegaskan kepada masyarakat mengenai arah politik dan menjaga komitmennya tetap menjadi partai yang bersih. (Ado/Sun)