Sukses

Bertempur Lawan Sekutu, Sugeng Kini Hidup Sendiri Tanpa Bantuan

Masih lekat di ingatan pria 89 tahun itu tentang perjuangannya mencegat pasukan sekutu di Ambarawa.

Liputan6.com, Yogyakarta - Namanya mungkin tidak pernah terdengar di tingkat nasional. Namun, sumbangsihnya bagi negara dan bumi pertiwi sungguh nyata. Sugeng Hadisuyatna namanya.

Kakek berusia 89 tahun ini adalah warga Plumbungan, Patuk, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada massa penjajahan, semangatnya tak luntur walau rumahnya habis dibakar oleh tentara Belanda.

Masih lekat di ingatannya, tentang masa-masa itu.

Awal perjuangannya dimulai ketika masuk sebagai prajurit bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (PETA) pada 1944. Dia masih ingat beberapa kata dalam Bahasa Jepang, seperti hormat dan perintah.

Pria yang mengisi harinya dengan bertani itu membangun karir kemiliterannya bersama PETA. Terakhir, dia berpangkat Gyuhei di PETA DAI.IV.Daidan, Gunungkidul.

"Saya mendaftarkan diri di kelurahan bersama warga lainnya," kata Sugeng saat ditemui di rumahnya di Patuk, Gunungkidul, Selasa (10/11/2015).

Pada 1945, dia masuk ke Batalyon 10 Yogyakarta setelah PETA dibubarkan. Setelah masuk Batalyon 10, dia mendapat tugas mencegat Sekutu di sekitar Ambarawa, Jawa Tengah.

"Tugas pertama saya Ambarawa, saya mencegat Sekutu yang datang dari Semarang," ujar Sugeng yang tercatat lahir pada 26 Desember 1926.

Momen itu merupakan salah satu pengalaman yang tidak dapat dilupakannya. Sebab, di situlah dia ikut bertempur melawan Sekutu.


Selama berperang, Sugeng pernah terkena mortir gas Sekutu. Bukannya mundur, kondisi ini justru memompa semangatnya untuk berjuang meski bahan makanan tengah menipis.

Tidak hanya sehari dua hari dia mencegat musuh. Selama itu pula, dia dan pejuang lainnya hanya makan ketela dan jagung mentah. Bagi Sugeng dan para pejuang, makanan tersebut merupakan barang mewah.

Hal terpenting bagi mereka adalah mampu mewujudkan Indonesia merdeka.

Setahun kemudian, sang ibu menyuruhnya keluar dari militer. Ibundanya tidak ingin kehilangan anak lagi. Kakak tirinya tewas ditembak Sekutu.

Namun, perjuangan Sugeng tidak pernah berhenti. Pada 1946, Sugeng mengumpulkan logistik dari penduduk untuk dikirimkan ke pejuang. "Kebetulan saya waktu itu masuk pamong desa, sehingga mudah mengumpulkan logistik," kata Sugeng.

Sampai akhirnya pada 1948 Belanda menyerbu Desa Putat dan membakar desa tersebut. Akibatnya, beberapa rumah penduduk, termasuk rumah Sugeng hangus dibakar Belanda.

Perjuangannya tersebut belum mendapat apresiasi dari negara. Sebagai veteran pejuang, dia belum mendapat bantuan dari pemerintah.

"Sampai saat ini saya hidup sendiri dan belum pernah dapat bantuan. Rumah saya limasan habis dibakar Belanda tahun 1948, karena ada tentara mereka yang mati ditembak pejuang," jelas Sugeng. (Bob/Sun)