Sukses

Perjuangan Terakhir Dokter Andra di Kepulauan Aru

Kepergian Dionisius Giri Samudra untuk selama-lamanya menjadi duka tersendiri bagi dunia kedokteran.

Liputan6.com, Jakarta - Hari Kesehatan Nasional yang jatuh pada 12 November 2015 berubah menjadi duka bagi dunia kedokteran. Sebab sehari sebelum peringatan itu, virus campak telah merenggut nyawa Dionisius Giri Samudra atau Andra (24).

Dia adalah seorang dokter muda yang sedang mengabdikan dirinya demi kesehatan masyarakat pedalaman di Kepulauan Aru, Maluku Tenggara.

Dokter Andra menghembuskan napas terakhirnya pada Rabu 11 November 2015 tepat pukul 18.18 WIT karena terinfeksi virus campak yang menyebar hingga ke otaknya.

Sebelum dikabarkan meninggal dunia, dokter Andra menderita demam, mengalami gagal napas dan penurunan kesadaran ketika mendapat perawatan di RSU Cenderawasih, Dobo, Kepulauan Aru.

"Beberapa hari lalu dia meminta izin untuk pulang dan berlibur ke Jakarta bersama dua orang rekannya. Namun kabarnya dia sudah merasa tidak enak badan ketika sampai di Tual," jelas Glenn, salah seorang dokter di RSUD Cenderawasih.

Setelah menjalani perawatan di RSUD Cenderawasih pada tanggal 8 November, ditemukan ruam di tubuh dan gejala campak pada dokter muda tersebut. Sayang kondisinya terus menurun dan masuk ICU pada pukul 23.30 waktu setempat di hari yang sama.

(Liputan 6 TV)

Andra diduga mengalami komplikasi virus campak. Sebab berdasarkan diagnosa dokter spesialis penyakit dalam yang menanganinya, gejala awal memang seperti campak.

"Tapi sepertinya lantas terjadi komplikasi di mana virus menyebar hingga ke otak. Kasus komplikasi ini memang jarang terjadi, sekitar 1:200," jelas dr. Glenn.

Kondisi Andra pun semakin kritis....

Meninggal Dunia di Tengah Perdebatan

Rio, teman Andra saat mengikuti program internship menceritakan masa-masa kritis almarhum sebelum menghembuskan napas terakhir.

"Saya bertemu Andra di Ambon, saat dia turun dari pesawat. Saat itu, dia sudah mengeluh suhu tubuhnya tinggi," ujar Rio.

Saat itu Andra masih memaksakan diri untuk terbang dengan menggunakan pesawat kecil menuju Tual selama 2 jam.

"Sesampainya di Tual, kita lanjutkan perjalanan dengan kapal fery selama 12 jam menuju Dobo. Nah, saat itu Andra sudah mulai ngedrop," ujar Rio.

Melihat kondisi Andra tak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, Rio dan beberapa temannya mengevakuasi Andra menuju rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.

Di rumah sakit inilah diketahui suhu badan Andra sudah 41 derajat celsius dan sudah dalam keadaan lemah.

"Saat itu diagnosa dokter rumah sakit setempat Andra terserang virus morbili atau campak," kata Rio.

Melihat kondisinya semakin parah, sempat terpikir untuk dievakuasi ke rumah sakit yang berada di kota atau yang peralatannya lengkap. Namun, itu harus menumpang pesawat.

Sayang, nyawa Andra tak tertolong di tengah perdebatan moda transportasi apa yang bisa mengevakuasi ke perkotaan.

"Begitu kurang lebihnya, saya bersama Andra satu tim program internship," pungkas Rio.

Jangankan bergegas untuk menyelamatkan nyawanya, membawa jenazahnya pulang ke Tangerang saja sangat sulit. Sebab sarana transportasi di kepulauan Aru memang sangat terbatas.

Kamis sore dengan menggunakan speed boat milik pemerintah Kabupaten Aru, jenazah Andra dibawa ke Tual Maluku Tenggara.

Setelah 1 malam disemayamkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karel Satsuit Tubun, jenazahnya diterbangkan ke Ambon sekitar pukul 08.00 pagi tadi.

Baru 1 jam kemudian jenazah dokter muda ini diterbangkan ke Jakarta menggunakan penerbangan reguler. Saat datang di Bandara Soekarno-Hatta, jenazah dilepas oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek.

 

Keluarga dan kerabat mengusung peti jenazah Dionisius Giri Samudra atau yang akrab disapa dokter Andra di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Jumat (13/11/). Andra meninggal saat bertugas di Kota Dobo, Kepulauan Aru, Maluku.  (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tangis keluarga pun pecah saat jenazah Andra tiba di rumah duka di Jalan Cempaka B6 No 5 Komplek Mahkamah Agung Pamulang Indah, Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan, Jumat (13/11/2015) pukul 12.35 WIB.

Kemudian, jenazah diangkut dengan mobil ambulans berwarna hitam. Ikut mengantar kedua orangtua, Agustinus dan Fransisca, anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tangerang, Banten dan pusat, serta sejumlah kerabat lain. Peti tersebut diselimuti bendera merah putih, serta karangan bunga di atasnya.

Peti langsung dibawa ke dalam ruang tamu. Kedua orangtua, kakak, dan adik kandung Andra duduk mendampingi peti jenazah.

Pita Hitam di Dada

Keluarga dan rekan dokter Andra terus berdatangan di rumah duka. Salah satunya adalah rekan Andra dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Saat datang ke rumah duka, mereka membentangkan kain putih bertuliskan 'Kami Ikatan Dokter Indonesia Mengucapkan Selamat Jalan Sejawat Dr Dionsius Giri Samodra'.

Di bawahnya, tercoret tanda tangan para dokter yang hadir lengkap dengan tulisan ucapan belasungkawa.

Sebagian anggota IDI yang datang juga mengenakan pita hitam di dada sebelah kirinya. Hal tersebut menandakan IDI tengah berkabung.

Pantauan Liputan6.com di lapangan, karangan bunga membanjiri rumah duka. Ada karangan bunga dari Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, IDI berbagai cabang daerah, ikatan klinik, dan beberapa instansi kedokteran serta rumah sakit.

Ada pula ungkapan duka dari almamater almarhum, Rumah Sakit Hasanudin Makasar. Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun turut menyampaikan rasa dukanya.

Selain itu, terdapat juga sejumlah karangan bunga yang datang dari Pemerintahan Kepulauan Aru, seperti Pejabat Bupati Kepulauan Aru Angelius Renjaan dan Dinas Kesehatan Kepulauan Aru.

"Pemda setempat, mereka sangat bertanggung jawab juga. Saya cukup salut pada Pemda Aru, terima kasih," kata ibu dari Andra, Fransisca Ristansiah, di rumah duka, Jumat (13/11/2015).

Rencananya, almarhum dimakamkan di Jeruk Purut, Jakarta Selatan pada Minggu 15 November 2015.

Dipeluk Ibunda

Sebelum meninggal pada 11 November 2015 pukul 18.18 WIB, dokter Andra sempat pulang ke rumahnya di kompleks Mahkamah Agung, Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel, Banten pada awal November 2015.

Malam saat pulangnya itu, almarhum sempat meminta dipeluk dan tidur bersama sang ibu, Fransisca. Hal tersebut menjadi kenangan terindah dan terakhir bagi Fransisca sebelum Andra pergi untuk selamanya.

"Saat sebelum pulang dia ingin tidur sama saya dan minta dipeluk juga. Dia bilang 'Saya mau tidur sama Ibu, peluk saya dong, Bu,' gitu katanya," tutur Fransisca sembari menirukan permintaan mendiang anaknya.

Dia bercerita, malam itu, ibu dan anak tersebut pun tidur bersama. Fransisca tak menyangka bila hal tersebut adalah kenangan termanis terakhirnya bersama Andra.

Meski sedih, Fransisca mengaku jika Andra meninggalkan kebanggaan bagi keluarga, terutama baginya.

"Dia meninggal dalam keadaan menjalankan tugas, membantu masyarakat pedalaman Pulau Aru agar terus sehat," ujar dia dengan mata yang masih sembab.

"Dia juga pernah mengatakan ke saya kalau mempunyai anak seorang dokter itu berisiko tinggi, anak saya bilang (dokter) bisa tertular penyakit dari pasien. Tetapi saya tetap bangga dengan anak saya," imbuh dia.

Dia melanjutkan, saat meninggalkan rumahnya untuk kembali bertugas ke Kepulauan Aru, Dokter Andra sudah dalam keadaan tak enak badan dan demam.

"Sebelum berangkat badannya panas, tapi dia bilang karena ini sudah tanggung jawabnya dia memilih kembali ke pedalaman Aru. Dia harus masuk rumah sakit untuk membantu pasien," kenang Fransisca lagi.

Andra adalah satu dari 17 dokter muda lainnya yang tengah menjalani program internship di Kepulauan Aru selama 1 tahun.

Jika campak tak merenggut nyawanya, Andra beserta beberapa rekannya akan mulai bertugas di RSUD Cenderawasih pada 12 November 2015 setelah ditugaskan di puskesmas daerah selama 5 bulan. (Nil/Ado)

Â