Sukses

Sampah di Berbagai Negara, Berkah atau Masalah

Di sebagian kota di berbagai negara sampah jadi masalah, tapi di kota lain justru jadi berkah.

Liputan6.com, Jakarta - Jakarta termasuk 10 besar kota dengan sampah terbesar. Peringkat itu diraih seiring produksi rata-rata 6 ribu ton sampah per hari atau 2,12 juta ton sepanjang tahun.

Produksi sampah yang besar itu bukan jadi alasan atau pembenar bahwa masalah sampah tak bisa ditanggulangi. Banyak kota-kota besar di dunia dengan produksi sampah yang besar, tapi bisa menanggulangi material buangan itu.

Salah satu kota dengan sampah yang teramat banyak adalah New York. Dari catatan Citylab, New York menghasilkan 93 ribu ton sampah per hari atau 33 juta ton setiap tahun.

Jika sukses mengelola, sampah yang jadi masalah itu justru menjadi berkah. Otoritas kota-kota yang sukses mengelola sampah itu bisa mendaur ulang sampah menjadi sumber daya, bahkan sampai mengimpor sampah dari negara lain.

Kota-kota yang sukses mengolah sampah itu menerapkan prinsip pengelolaan sampah yang meminimalisasi jumlah sampah yang ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau bahkan nihil sama sekali (zero to waste). Metode yang digunakan biasa disebut 3R (reduce, recycle, reuse).

Dalam pelaksanaannya, sampah-sampah dipilah berdasarkan jenis materialnya. Sampah yang sudah terpilah itu diolah sesuai karakteristik materialnya. Ada sampah bakar berupa sisa makanan, kotoran dapur, atau kertas makanan.

Ragam lain adalah sampah non-bakar berupa plastik dan sampah daur ulang berupa botol, kaca, kaleng, juga karton. Ada juga sampah ukuran besar seperti furnitur, elektornik bekas, dan kasur.

Pada pengelolaan lebih lanjut, sampah-sampah organik dikirim ke insinerator untuk dibakar. Pembakaran itu menghasilkan energi berupa panas yang kemudian bisa dipanen menjadi listrik. Sisa pembakaran (abu) dijadikan material bangunan.

Adapun sampah yang non-organik didaur ulang. Nah, sampah yang tidak dibakar dan tidak didaur ulang ditimbun di TPA. Semakin sedikit sisa sampah yang ditimbun, semakin berhasil pengelolaan sampahnya. 

Petugas sampah memilah milih sampah di kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Senin (26/10). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun empat fasilitas pengolahan sampah tahun depan. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Permasalahan sampah seperti Jakarta juga dijumpai di negara lain. Pemerintah mereka juga sedang berjuang menuntaskan masalah sampah. Di Dhaka, Bangladesh, misalnya, sampah 4.600-5.110 ton per hari diatasi melalui program Solid Waste Master Plan.

Pemerintah Dhaka merangkul Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk mengelola sampah. Mereka menggunakan berbagai tahapan pengolahan, seperti dari pengumpulan sampah dari rumah ke rumah, daur ulang dengan cara 3R, pembuangan ke TPA Matauail dan Amin Bazar.

Kondisi seperti Jakarta juga dijumpai di Lagos, Nigeria. Negara ini memproduksi sampah sebanyak 9 ribu ton per hari dengan pengelolaan dilakukan oleh Lagos State Waste Management Authority (LAWMA).

Nigeria mulai mengadopsi pengelolaan sampah yang disesuaikan berdasarkan jenis materialnya. Strategi ini baru dipakai di Kota Lagos sejak Agustus 2015. Olusosun Landfills adalah TPA terbesar di Nigeria.

Di Teheran, Iran, sampah dibuang sebanyak 7 ribu ton per hari. Tempat daur ulang seluas 22 hektare terletak di Arad-Kuh. Negara ini juga melakukan konversi sampah ke dalam energi.

Sampah yang tidak didaur ulang dikirim ke pusat sanitasi penimbunan dengan kapasitas 600 ribu ton. Sebanyak 22 kontraktor dari 22 wilayah mulai melakukan pemisahan sampah di 27 pusat pembuangan sampah. Pemerintah menyediakan pos-pos daur ulang di sudut kota.

 


Otoritas kota New York menyadari ancaman masalah sampah mengingat volume yang luar biasa besar. New York mencanangkan program Zero to Waste 2030 dengan pengelolaan di bawah Sanitation Departement.

Di Tokyo, Jepang, sampah dikelola oleh Asosiasi Pemrosesan Sampah Kota-Kecamatan yang nirlaba. Sampah bakar mencapai 75 persen.

Sampah plastik didaur ulang menjadi bahan bakar dengan metode pirolisis. Pengolahan dan pembakaran sampah itu dilakukan dalam sebuah gedung pengolahan sampah.

Di Swedia, hanya 1 persen sampah yang masuk TPA. Adapun 50 persen sampah didaur ulang dan 49 persen lainnya dibakar. Sampah organik dikelola menjadi biogas dan lainnya didaur ulang. Kini Swedia bahkan mengimpor sampah dari Norwegia sebanyak 800 ribu ton per tahun.

Tak semua pengelola kota sukses mengelola sampah. Alih-alih menjadi berkah, sampah di beberapa tempat masalah menjadi masalah.

Di Beirut, Libanon, pada Juli 2015 pemerintah menutup TPA Naameh. TPA Naameh merupakan tempat pembuangan sampah terbesar di negara tersebut. Lantaran penutupan tempat pembuangan itu, sekitar 22 ribu ton sampah memenuhi jalan-jalan Beirut.

Karena sampah itu, pada Agustus lalu terjadi aksi demonstrasi massa memprotes masalah sampah dan pemerintah. Sebulan kemudian, pemerintah menggelar sidang istimewa membahas krisis sampah.  

Dari sidang istimewa itu pemerintah memutuskan 3 strategi mengatasi masalah sampah. Langkah pertama adalah mempercepat aktivasi pabrik daur ulang sampah dan limbah di Kota Sidon. Selain itu pengoperasian 2 TPA baru, yaitu Akkar dan Masnaa. Pemerintah juga terpaksa membuka sementara TPA Nameeh.

Krisis sampah juga menimpa New Delhi, India. Pada Juni 2015 sekitar 15 ribu ton sampah teronggok di jalanan Delhi selama 10 hari. Pemicunya adalah aksi mogok 12 ribu petugas kebersihan yang gajinya tidak kunjung dibayar.

Warga Delhi sendiri menghasilkan 9 ribu ton sampah setiap hari. Di TPA Ghazipur, salah satu dari 4 TPA di Delhi, tinggi sampah di tempat pembuangan seluas 75 hektare itu mencapai  25 meter. Ada 4 ribu bocah bekerja menjadi pemulung kain di sana.

Tumpukan sampah itu menghasilkan 1,5 juta liter racun yang mengalir ke sungai Yamuna. Komposisi sampahnya terdiri atas 50 persen sampah berbahan organik yang dapat menjadi kompos, 30 persen material yang dapat didaur ulang, dan 20 persen yang seharusnya masuk TPA.

Di Metro Manila, Filipina, 8.700 ton sampah dihasilkan setiap hari. Pada 2000, gunungan sampah di TPA Patayas roboh. Korban jiwa sekitar 300 orang. Manila menjadi salah satu penyumbang sampah ke laut terbesar di dunia.

Mulai 2004, TPA Payatas berbenah diri dengan program Ecological Solid Waste Management Act of 2000. Dengan sistem pengelolaan itu dipetakan 48 persen biodegradables, 39 persen recyclables, dan 13 persen residuals. 

Sejumlah Relawan membersihkan sampah yang menumpuk di Manila Bay pada (19/9/2015). Kegiatan membersihkan pantai ini untuk memperingati International Coastal Cleanup Day atau Hari membersihkan pantai internasional. (REUTERS/Romeo Ranoco)

Masalah sampah tak kalah serius di Phnom Penh, Kamboja, dengan pasokan 1,286 ton sampah per hari. Pemerintah tidak menerapkan sistem daur ulang sampah. Kecemasan terjadi di 2 TPA di Dangkor karena bakal overkapasitas pada 2020. Padahal, TPA Anlong Pi hanya berjarak 18,6 mil dari obyek wisata Angkor Wat.

Masalah sampah ini pun menuai aksi protes warga terhadap masalah sampah. Dewan menteri mengkaji ulang kembali kontrak kerja sama dengan CINTRI, satu-satunya perusahaan pengumpul sampah di kota Phnom Penh.

Di Dhaka, Banglades, masalah sampah kronis. Dhaka menyumbang 4.600-5.110 ton sampah setiap hari. Sampah tak terkelola dengan baik sehinga menimbulkan timbunan sampah di jalan, pekarangan rumah, sekolah, taman, hingga klinik. (Hmb/Awm)**