Liputan6.com, Jakarta - Duka menaungi Pura Pakulaman. Paku Alam IX wafat pada usia 87 tahun karena sakit. Keraton itu sendiri punya kisah yang panjang.
Paku Alaman adalah satu dari empat keraton yang masih eksis di kawasan Surakarta dan Yogyakarta sampai saat ini. Meski dalam sejarahnya Pura Pakualaman adalah kerajaan yang lahir dari kerajaan Mataram yang pernah berkuasa di Jawa setelah kerajaan Demak dan Pajang. Â
Â
Tiga kerajaan pecahan Mataram lain yang masih tetap hidup dan memiliki pengaruh sampai sekarang, yaitu Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, dan Kasultanan Yogyakarta. Artinya dua kerajaan ada di Solo dan dua kerajaan lain ada di Yogyakarta.
Awalnya, pada 1755, Kerajaan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sebelumnya, pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram berhasil dikuasai VOC (Belanda) Dengan Perjanjian Ponorogo pada 1743, Belanda berhak atas daerah-daerah pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram.
Termasuk sistem pemerintahan Mataram (pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem dan para bupati) dikendalikan oleh Belanda. Sejak 11 Desember 1749, Mataram tidak lagi berdaulat secara de jure dan de facto lantaran Paku Buwono II menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda.
Namun, menguasai Mataram tidak semudah menaklukkan daerah lain. Seorang pangeran bernama Mangkubumi tidak terima dengan penyerahan kedaulatan dan sikap lunak Paku Buwono II itu.
Pemberontakan pun dimulai, Pada 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana bersama 3 pangeran lainnya, yakni Pangeran Wijil, Pangeran Krapyak, dan Pangeran Hadiwijoyo. Mereka bergabung dengan Raden Mas Said atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa untuk berperang melawan Belanda dan memberontak.
Pangeran Mangkubumi dan kelompoknya berhasil merebut kembali Mataram dari kekuasaan Belanda. Pada tahun 1750, mereka mengepung ibukota Mataram dari 4 penjuru. Sampai pada tahun 1752, sebagian besar wilayah Mataram berhasil mereka kuasai.
Keberhasilan perjuangan Pangeran Mangkubumi itu menghasilkan sebuah perjanjian politik yang membuka lembaran baru sejarah Mataram. Pada 23 September 1754, Belanda bernegosiasi dengan Pangeran Mangkubumi dan berjanji memberi setengah dari kerajaan Mataram.
Maka dibuatlah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang merupakan kesepakatan bersama antara P. Magkubumi, Paku Buwono III (pengganti Paku Buwono II) dan Pemerintah Belanda (Gubernur Hartingh).
Perjanjian Giyanti berisi ketetapan bahwa kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Setengahnya, yaitu Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada Pangeran Mangkubumi. Setengahnya lagi, yaitu Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.
Perjanjian Giyanti bisa dikatakan merupakan titik awal berdirinya kerajaan Kasultanan Yogyakarta (Ngayogyokarto Hadiningrat) dan Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi pun naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Dinamika politik dan perjuangan melawan penjajah memunculkan kerajaan baru bernama Mangkunegaran. Pada tanggal 17 Maret 1757, ditandatanganilah perjanjian damai (Perjanjian Salatiga) antara Mas Said, Sri Sultan Hamengku Buwono I, dan Belanda.
Berdasarkan perjanjian itu, Mas Said mendapatkan sebagian daerah Surakarta serta berhak menguasainya dengan gelar Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro. Dengan demikian, di Solo terdapat dua kerajaan, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran.
Baca Juga
Adu Domba Ala Inggris
Advertisement
Sementara itu, ketika Inggris mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda, lahirlah sebuah kerajaan baru di Yogyakarta, yaitu Kadipaten Pakualaman. Saat itu, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles menilai Sri Sultan HB II dan Sunan Solo tidak menaati Perjanjian Tuntang.
Karena itu, Sultan HB II dipaksa Raffles untuk turun tahta. Kemudian, Raffles mengangkat Sri Sultan HB III dengan mengurangi daerah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Sebagian dari wilayah kekuasaan Kasultanan diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang adalah saudara dari Sri Sultan HB III.
Daerah otonom ini – sebagian di dalam kota dan sebagian di daerah selatan Jogja (Adikarto) – menjadi sebuah Kadipaten baru yang dikuasai dan dipimpin oleh Pangeran Notokusumo tersebut. Pada 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo mengukuhkan tahtanya dan bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I.
Politik memecah belah kekuatan Yogyakarta ternyata tidak memicu perang saudara. Munculnya Kadipaten Pakualaman bagi kerabat keraton Yogyakarta tidak dipandang sebagai perpecahan.
Mereka berkomitmen untuk tetap memegang visi kesatuan itu terbukti kelak di kemudian hari. Pada masa pemerintahan Paku Alam VIII, khususnya pada jaman pendudukan Jepang, terjadi reunifikasi antara Pakualaman dan Kasultanan.
Hal itulah yang mengantarkan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII tampil menjadi dwi tunggal pemimpin yang berdampak secara regional dan nasional. (Dms/Yus)