Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menggelar rapat internal untuk menentukan apakah laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, tentang dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bisa ditindaklanjuti prosesnya atau tidak.
Rapat yang sudah berlangsung tertutup dan alot itu terpaksa ditangguhkan hingga Selasa 24 November besok. Sebab dalam rapat, terjadi pecah kongsi antara anggota MKD yang memperdebatkan Bab 4 Pasal 5 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur tentang siapa yang berhak melaporkan pengaduan pelanggaran kode etik anggota dewan.
Ketua MKD Surahman Hidayat mengatakan, beberapa anggota MKD ada yang mempermasalahkan pasal tersebut, laporan Sudirman dianggap tidak memenuhi syarat, lantaran dia tidak masuk bagian dalam masyarakat melainkan pejabat negara.
"Pasal ini masih debatebel, jadi kita putuskan untuk ditunda," kkataSurahman Hidayat, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 23 November 2015.
Baca Juga
Sementara, Wakil Ketua MKD Junimart Girsang menilai, tidak ada yang salah dalam Bab 4 pasal 5 UU MD3. Menurutnya, siapa pun masyarakat Indonesia bisa melaporkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR, tanpa terkecuali Menteri ESDM Sudirman Said.
"Tidak ada di pasal 5 yang melarang menteri tidak boleh melaporkan MKD. Memang menteri itu bukan warga negara. Justru hebat donk kalau kita mendapat laporan dari menteri," ujar Junimart.
Junimart mengaku tak mengerti dengan pola pikir para anggota MKD yang menolak laporan Sudirman Said. Padahal menurutnya, rapat kali ini sebenarnya hanya memutuskan apakah sidang kasus Setya Novanto bisa dilakukan secara terbuka untuk umum atau tertutup.
"Sebenarnya rapat ini simpel, pertama bisa atau tidak laporan Sudirman ditindaklanjuti, kedua sidang terbuka untuk umum atau tertutup itu saja. Rakyat ini sudah banyak menunggu," ucap dia.
Rapat MKD yang ditunda itu, selanjutnya akan memanggil pakar dan ahli, diantaranya ahli bahasa hukum dari Menteri Hukum dan HAM untuk menelaah pasal 5 tersebut. Namun menurut Junimart, MKD tidak perlu memanggil ahli bahasa hukum untuk menafsirkan pasal tersebut.
"Tidak usahlah kita di sini juga banyak ahli soal hukum," tandas Junimart. (Ron/Dan)
Advertisement