Sukses

Ini Pelanggaran dalam Perpanjangan Kontrak Pelindo II dengan HPH

Kehadiran saksi ahli komunikasi politik Tjipta Lesmana menambah keyakinan Pansus Pelindo II akan adanya pelanggaran undang-undang.

Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran ahli komunikasi politik Tjipta Lesmana menambah keyakinan Pansus Pelindo II akan adanya pelanggaran undang-undang dalam perpanjangan kontrak pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT) kepada Hutchinson Port Holding (HPH) yang merugikan negara.

Seperti disampaikan anggota Pansus Pelindo Moh Nizar Zahro.

"Dari hasil rapat Pansus dengan Tjipta Lesmana, banyak ditemukan pemahaman yang sama. Dari beberapa dialog yang dilakukan, ada banyak pelanggaran yang dilakukan Pelindo II, yang dilakukan secara personal atau pribadi ataupun yang dilakukan secara kelembagaan," kata Nizar saat dihubungi pada Rabu 25 November 2015.

Dia menuturkan, dalam kasus ini, ditemukan pelanggaran sumber hukum yang telah ditetapkan pada UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Nizar menjelaskan, pada UUD 1945, khususnya pasal 33 Ayat 1, yang menekankan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Lalu ayat 2 yang menegaskan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk Kemakmuran Rakyat

Di urutan selanjutnya, prinsip di UUD 1945 diturunkan ke UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Di mana pasal 34, disebutkan pengelolaan pelabuhan harus menggunakan konsensi.

Hal itu sebagai wujud aset pelabuhan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Nizar melanjutkan, 3 tahun setelah diundangkan, maka PT Pelindo I-IV harus menyesuaikan semua kontrak dan operasinya dengan UU 17/2008.

Di tingkat ketiga, ada PP Nomor 64 tahun 2015 tentang Kepelabuhanan. Di pasal 74, sebagai turunan kedua aturan sebelumnya, ditegaskan pemberian konsesi dilakukan melalui mekanisme pelelangan. Ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau melalui penugasan/penunjukan.

"Yang teknis ini baru dilakukan oleh pihak Pelindo II pada 11 November lalu. Secara tidak langsung pihak Pelindo II barusan mengakui kesalahannya karena telah memperpanjang kontrak dengan pihak HPH pada tahun 2014, sebelum konsesi ditanda tangani," jelas Nizar.

Menurut dia, direksi Pelindo II seharusnya bisa menghentikan kerugian negara itu jika mau berpegang pada kontrak yang diteken dengan HPH di 1999. Dengan itu, Indonesia cuma membayar US$ 50 sampai Rp 60 juta. Namun yang dilakukan justru memperpanjang kontrak hingga 2038 dengan hanya memperoleh USD 215 juta.

"Sementara pihak asing mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kalau seandainya kontrak tak dilanjutkan, Indonesia hanya membayar USD 50-60 juta sesuai kontrak 1999, dan mendapat 100 persen kepemilikan pada 1999," pungkas Nizar. (Ndy/Bob)