Liputan6.com, Jakarta - Nasib 8 calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan pemerintah melalui 9 'skrikandi' panitia seleksi (pansel) masih menggantung di Parlemen. Komisi III DPR beberapa hari lalu memutuskan menunda pengambilan keputusan hingga awal pekan ini atau Senin 30 November 2015.
Penundaan ini jelas mendapat perhatian pemerintah. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno mengatakan, pemerintah berharap 5 dari 10 nama capim KPK segera diputuskan, terlebih nama-nama tersebut telah berada di DPR beberapa bulan lalu.
Baca Juga
"Presiden kan sudah lama mengirim calon pimpinan KPK. Sudah ada 2, lalu presiden mengusulkan 8 lagi. Ini sudah berlangsung 3 bulanan ya, kita sangat berharap karena kan memang dalam UU disampaikan, DPR memilih di antara calon yang diajukan Presiden. Oleh karena itu kita berharap," ucap Pratikno di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat 27 November 2015.
Advertisement
Baca Juga
Pemerintah, imbuh Pratikno, telah mendengar Komisi III belum memutuskan soal capim KPK. Ia berharap, 10 nama yang telah diberikan kepada pemerintah segera diputuskan melalui rapat pleno.
"Di situ kami berharap, sangat berharap bahwa Komisi III akan menyampaikan usulan 5 calon tersebut dan kemudian diputuskan dalam pleno. Itu yang kami harapkan," ujar Pratikno.
Lalu, bagaimana bila hingga Senin 30 November 2015 DPR melalui Komisi III belum juga memutuskan nama-nama capim KPK yang telah diajukan pemerintah?
"Sampai sekarang kita tetap merujuk pada ketentuan bahwa DPR memilih 5 dari 10 calon yang diajukan Presiden. Jadi, intinya sampai di situ, kita tidak berpikir ada skenario lain dan mengharapkan bahwa DPR akan memilih sebagaimana ditentukan undang-undang," ucap dia.
Sebelumnya, Jokowi juga mengemukakan harapannya agar 5 nama pimpinan baru KPK segera diputuskan. Jokowi berharap DPR memilih sesuai aturan UU.
"Saya mendengar bahwa memang Komisi III DPR sudah akan memutuskan. Itu saya dengar lho. Menurut UU memang DPR memilih 5 dari 10 nama yang diajukan. Aturan UU-nya seperti itu," kata Jokowi.
Jokowi tidak mau berkomentar tentang penundaan proses sidang penentuan pimpinan KPK di DPR. "Jangan tanya saya, tanya ke sana (DPR)," tukas Jokowi.
Sehari sebelumnya, Jokowi menekankan bahwa hal terpenting pemerintah telah melaksanakan tugasnya. Yakni dengan melakukan proses seleksi melalui Pansel Capim KPK yang diisi oleh 9 tokoh independen.
"Ya tugas kita itu, dan saya mendengar bahwa memang Komisi III sudah akan memutuskan. Menurut undang-undang kan nanti DPR memilih 5 dari 10 nama yang diajukan," ujar Jokowi di Jakarta, Kamis 26 November 2015.
Jokowi juga meminta agar masyarakat untuk bersabar menunggu DPR hingga sidang fit and proper test dimulai. "Ya sabar wong belum diputuskan," tandas mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo itu.
Alasan Penundaan
Penundaan pengambilan keputusan tentang jadwal fit and proper test 8Â capim KPK diputuskan dalam rapat pada Rabu 25 November lalu. Saat itu 10 fraksi di Komisi III sepakat menunda pengambilan keputusan hingga pekan depan atau Senin ini.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menuturkan, penundaan itu terjadi karena beberapa alasan.
"Kami menyampaikan beberapa catatan kritis atas pelaksanaan tahapan proses seleksi capim KPK yang diselenggarakan oleh tim Pansel KPK, mulai dari masa pendaftaran hingga dipilihnya 8 nama-nama capim KPK," kata Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 26 November 2015.
Masinton menjelaskan, ada 6 catatan penting selama masa penjaringan capim KPK oleh tim panitia seleksi (pansel). Pertama, masa pelaksanaan pendaftaran calon pimpinan KPK melampaui waktu yang seharusnya berlangsung 14 hari masa kerja sesuai Pasal 30 ayat (5) Undang-Undang KPK.
"Kedua, tidak adanya unsur jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum KPK (UU Tipikor, UU KPK, UU Kejaksaan)," ujar dia.
Ketiga, Masinton menuturkan, beberapa capim KPK belum memenuhi pengalaman 15 tahun di bidangnya masing-masing. Yakni bidang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan seperti disebutkan Pasal 29 poin D UU KPK.
"Keempat, adanya pembidangan capim KPK yang tidak sesuai nomenklatur dalam pembidangan KPK (Pasal 26 ayat (2) UU KPK)," tutur dia.
Kelima, lanjut Masinton, adanya konflik kepentingan oleh capim KPK, di mana salah satu capim KPK dilibatkan sebagai narasumber dalam kegiatan tim pansel di Makassar. Lalu catatan keenam, proses tahapan kegiatan seleksi capim KPK belum memenuhi asas.
"Tim pansel KPK dalam melakukan proses seleksi capim KPK tidak boleh menafsirkan UU, melampaui UU, apalagi hingga menabrak UU. Khususnya UU KPK, karena hal itu bukan merupakan domain tim Pansel KPK," ucap Masinton.
Selain itu, keinginan Fraksi PDIP sama dengan keinginan publik yang menghendaki agar KPK memiliki pimpinan yang kokoh dan berintegritas tinggi. "Atas dasar pertimbangan keinginan publik itulah, kami cukup berhati-hati dan selekif dalam menentukan pilihan pimpinan KPK," tandas Masinton.
Pro-Kontra
Walau 10 fraksi menyepakati penundaan, pro-kontra tetap ada di dalam komisi yang membidangi hukum, hak asasi manusia dan keamanan tersebut.
Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul, misalnya. Politikus Partai Demokrat ini menyatakan, uji kelayakan dan kepatutan capim KPK harus tetap dilanjutkan. Dia berharap awal pekan depan (Senin 30 November 2015) sudah bisa diambil keputusan untuk memilih 5 dari 8 capim KPK yang diserahkan Presiden Jokowi.
"Komisi III harus melanjutkan untuk memilih capim KPK. Selama kawan-kawan anggota yang lain bisa terima, Senin (awal pekan depan) kami akan ambil keputusan," kata Ruhut saat dihubungi di Jakarta pada Jumat 27 November 2015.
‎Menurut dia, penolakan sejumlah anggota Komisi III DPR atas 8 nama capim KPK --karena tidak ada unsur Kejaksaan-- itu tidak berdasar. Sebab, tidak ada ketentuan perundangan yang mengatur komposisi pimpinan KPK harus ada dari unsur kejaksaan atau kepolisian.
"Meski enggak ada pimpinan dari jaksa kan ada deputi dan sebagainya di bawah. Buktinya kemarin (periode lalu) unsur dari Kepolisian tidak ada, bisa saja kan. Saya tidak suka begitu, seleksi jangan kaku," ujar Ruhut.
Mengenai beberapa anggota Komisi III DPR yang menilai hanya 4 dari 8Â capim KPK yang bisa dipilih sesuai UU KPK, Ruhut tidak setuju. Dia menilai itu alasan yang mengada-ada.
"Seperti Pak Busyro dan Pak Roby (capim KPK periode lalu) yang sudah dipilih di zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) kan ada itu contohnya, jadi jangan mengada-ada. Jangan cari masalah, DPR jangan menyusahkan Presiden," ‎ungkap politikus Partai Demokrat tersebut.
Sementara anggota Komisi III DPR lainnya, Junimart Girsang mengatakan penolakan Komisi III DPR terhadap 8 capim KPK yang diloloskan oleh 9 'srikandi' pansel itu sangat beralasan. Sebagai lembaga antikorupsi, Junimart menyatakan, unsur kejaksaan sangat diperlukan selain amanat dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Begini ya, KPK itu kan lembaga penegakan hukum. Bagaimana mungkin kita bicara soal penegakan hukum kalau kita tidak memahami hukum? Bagaimana mungkin jaksa itu bisa bekerja tanpa ada pimpinan jaksa?" tutur Junimart.
Politikus PDIP tersebut mengkhawatirkan, lembaga antirasuah ini akan melemah dalam menindak para pelaku tindak korupsi karena tidak adanya unsur jaksa. Hal tersebut, imbuh dia, yang menjadi pertanyaan Komisi III kepada Pansel Capim KPK.
"Kalau Pimpinan KPK menanyakan proses penuntutan kepada penyidik misalnya, kepada yang tidak paham terhadap anatomi penuntutan ini kan aneh, ini yang kita minta klarifikasi kepada pansel. Karena asalan apa unsur jaksa tidak ada, bagaimana sebenarnya?" tanya Junimart.
Dia menegaskan fraksinya bukan tidak setuju terhadap pilihan pansel. Melainkan ingin mematuhi peraturan yang telah dibuat dan tidak ingin ada celah kesalahan ke depannya terhadap KPK.
"PDIP bukan tidak setuju, itu kan menjadi syarat mutlak dan setahu saya itu penolakan semua fraksi.‎ Kami terus terang, maunya sebelum tanggal 16 (Desember 2015) sudah ada itu pimpinan KPK, kita tidak mau PLT terus kita perlu kepastian hukum. Kita mau ada legal standing, pimpinannya harus punya legal standing," tandas Junimart.
Advertisement
Lemahkan KPK?
Uji kelayakan dan kepatutan capim KPK hingga kini masih tertunda. Pada saat bersamaan, DPR malah mempercepat revisi UU KPK, karena itu dinilai ada upaya anggota Dewan sengaja melemahkan lembaga antirasuah itu.
"Penundaan pemilihan dan revisi UU KPK, keduanya merupakan upaya sistematis melemahkan KPK," kata Ketua Setara Institute Hendardi, seperti dilansir Antaranews Sabtu 28 November 2015.
Hendardi juga mempertanyakan penundaan uji kelayakan dan kepatutan tanpa alasan yang jelas. "Itu merupakan pembangkangan hukum, karena DPR tidak menjalankan perintah undang-undang."
Dengan menunda-nunda pemilihan calon pimpinan KPK, dia menambahkan, DPR sedang mengulur waktu untuk tujuan membuka ruang negosiasi untuk tujuan-tujuan politik.
"Bukan untuk tujuan pemajuan pemberantasan korupsi," pungkas Hendardi.
Sementara, Indonesian Corruption Watch (ICW)Â mempertanyakan sikap Komisi III DPR yang memutuskan untuk menunda pemilihan pimpinan KPK, hanya karena tidak ada unsur kejaksaan di dalamnya.
"Problem soal tidak ada jaksa itu argumentasinya datang dari mana. UU KPK tidak ada satu pun pasal yang mengharuskan ada pimpinan dari kejaksaan, kepolisian dan sarjana hukum," ujar peneliti ICW Emerson Yuntho di kantornya, Kamis 26 November 2015.
Dia pun mencontohkan unsur-unsur KPK di setiap era pimpinan. Periode pertama dan kedua tidak ada sarjana hukum. Periode 3 tidak ada unsur kepolisian. "Sekarang ini tidak lazim. Malah ingin memaksakan ada unsur jaksa," tukas Emerson.
Seharusnya Komisi III wajib memilih dan menetapkan dari calon pimpinan (Capim) yang ada, dan tidak boleh untuk menolaknya. "Dari stok yang ada mestinya wajib dipilih. Terima saja dari pansel. Kalau di kembalikan, DPR melanggar undang-undang," pungkas Emerson.
Apa Pendapat Masyarakat?
Selain pro-kontra dan pandangan pengamat, ternyata masyarakat tidak peduli dengan latar belakang pimpinan KPK yang baru. Terpenting, pimpinan KPK mampu membawa Indonesia bebas korupsi.
Hal ini yang terungkap dari hasil survei ICW terkait pandangan masyarakat terhadap keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsi. Hasil survei tersebut mengungkap pimpinan KPK tak harus dari kejaksaan ataupun kepolisian.
Koodinator Divisi Riset ICW, Firdaus Ilyas, mengatakan mayoritas responden menyatakan pimpinan tidak perlu dari Kejaksaan. Ada 73 persen dari 1.500 responden di 5 kota besar di Indonesia yang menyatakan hal itu.
"Masyarakat yang mengatakan perlu dari unsur kejaksaan sebanyak 26,4 persen dan tidak tahu sebesar 0,6 persen," ujar Firdaus di kantornya, Jakarta, Kamis (27/11/2015).
Sementara yang menyatakan pimpinan KPK tidak perlu berlatar belakang kepolisian sebanyak 79,4 persen. "Sedangkan hanya 19,9 persen masyarakat yang mengatakan perlu dari unsur kepolisian dan hanya 0,7 persen mengatakan tidak tahu," tutur Firdaus.
Survei yang diadakan dari 26 Oktober sampai 20 November 2015 dengan margin error dari 2-3 persen tersebut, juga menyimpulkan proses seleksi Pimpinan KPK tidak perlu lagi dari DPR.
"Sebanyak 47,7 persen masyarakat mengatakan tidak perlu melalui DPR. Yang mengatakan perlu sebesar 41,7 persen. Dan yang mengatakan tidak tahu sebesar 10,5 persen," jelas Firdaus.
Peneliti ICW, Donald Faris, mengatakan survei ini bisa menjadi refleksi buat DPR yang menunda proses seleksi pimpinan komisi antirasuah itu. "Ini harusnya menjadi refleksi terhadap apa yang terjadi pada proses seleksi pimpinan KPK di Komisi III DPR RI," pungkas Donald.
Kini, keputusan nama-nama capim KPK yang lolos berada di tangan Komisi III DPR. Publik tentunya menanti keputusan terbaik para wakil rakyat tersebut. (Ans/Dms)