Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kembali menggelar rapat internal menentukan jadwal sidang untuk Ketua DPR Setya Novanto. Sejak kemarin, anggota MKD belum menemukan titik temu kapan dan siapa saja saksi yang akan dihadirkan dalam mengusut kasus dugaan pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini.
"Sidang diskors sampai jam 1 besok (Selasa 1 Desember 2015. red) untuk melanjutkan hasil rapat pada 24 November yang lalu, jadi jam 1 kita melanjutkan itu, semoga rapat tidak ada dinamika yang lain lagi," ujar Wakjil Ketua MKD Junimart Gisang di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 30 November 2015.
Dia menjelaskan, sesuai dengan tata beracara MKD, seharusnya keputusan bisa ditentukan kemarin malam. Tapi karena terdapat dinamika antara anggota MKD yang baru dan yang lama mengenai keputusan rapat sebelumnya sehingga hal itu mempengaruhi keputusan rapat.
Anggota MKD yang baru menggantikan anggota yang lama masih mempermasalahkan validasi alat bukti yang diberikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Yaitu rekaman pembicaraan Ketua DPR Setya Novanto dengan bos PT Freeport Indonesia Maroef Syamsuddin dan pengusaha minyak Riza Chalid.
Tak hanya itu, para anggota MKD juga masih mempermasalahkan legal standing Sudirman Said selaku pembantu Presiden. Sebab dikatakan, Sudirman melaporkan Novanto ke MKD tanpa izin dari Jokowi.
Baca Juga
Junimart mengatakan, terkait masih legal standing, semua anggota MKD sudah sepakat. Akan tetapi, ada hal lain yaitu terkait belum tuntasnya proses verifikasi data-data yang sudah dikumpulkan.
"Yang ada tadi adalah belum tuntasnya verifikasi, walaupun sebenarnya menurut saya dan teman-teman sebagian dengan meminta keterangan ahli bahasa merupakan verifikasi akhir," tutur dia.
Namun, hal ini ditentang oleh anggota MKD lainnya. Misalnya, Ridwan Bae yang menganggap, mendatangkan ahli hukum lebih penting ketimbang tata bahasa. Sebab seharusnya mereka meminta pendapat ahli hukum untuk menentukan apakah Menteri ESDM layak menjadi pengadu atau tidak.
"Seharusnya ada ahli hukum. Dan kemudian rekaman itu tidak tuntas didengarkan dengan baik, nah ini kita bertahan. Sebaiknya kenapa kita tidak melakukan sesuatu yang lebih bernilai untuk MKD, sehingga seluruh proses kita jalani dengan sempurna tidak terburu-buru," ujar Ridwan.
Menurut dia, hal ini terlihat lewat keputusan rapat sebelumnya yang berencana memanggil 2 orang ahli yaitu ahli tata hukum negara dan ahli bahasa.
"Yang hadir hanya ahli bahasa, ahli tata negera tidak datang. Jangan cuma satu (ahli) karena keputusan tidak ada, 2 yang harus dihadirkan, kenapa tidak menunggu hadirnya ahli hukum itu," lanjut Ridwan.
Dia menjelaskan, terdapat sejumlah hal-hal yang belum valid dan MKD mengabaikan validasi itu sampai melahirkan sebuah keputusan. Oleh karena itu, dia menginginkan verifikasi ulang setelah itu baru dilanjutkan ke proses persidangan.
"Bagaimana mungkin menjalankan keputusan tapi tidak benar yang nyata-nyata cacat hukum. Bagaimana mungkin mau berangkat dengan dasar yang tidak benar," ujar Ridwan.
Dia mengatakan hal ini bukan karena dia berasal dari Partai Golkar. Alasan dia menolak untuk dilanjutkan ke tahap persidangan murni karena fakta-fakta yang ditemukannya di MKD.
"Bagaimana mungkin mau arahan (partai), kita ini berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di dalam, partai tidak tahu yang terjadi dalam. Bagi saya, jangan dilanjutkan sesuatu yang salah, bagaimana mungkin tidak akurasi dari aspek hukum kita mau lanjutkan," ujar Ridwan. (Nil/Bob)
Advertisement