Sukses

AirAsia QZ8501 Sempat Miring ke Kiri 104 Derajat Sebelum Jatuh

Pilot mengambil tindakan yang berbeda dengan 3 gangguan awal.

Liputan6.com, Jakarta - Pesawat AirAsia QZ8501 jatuh di perairan Selat Karimata, Kalimantan Tengah, pada Minggu, 28 Desember 2014 pagi. Kurang lebih 11 bulan kemudian, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkapkan hasil investigasi terhadap penyebab jatuhnya pesawat yang membawa 156 penumpang, 4 awak kabin, dan 2 pilot tersebut.

Pelaksana Tugas Sub-Komite‎ Kecelakaan Pesawat Udara KNKT Nurcayo Utomo mengatakan terdapat 3 gangguan pada Rudder Travel Limiter (RTL) yang mengaktifkan peringatan sebanyak 4 kali. Penanganan terhadap gangguan itu ditangani sesuai prosedur dari Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM). Namun, saat gangguan keempat muncul pada pukul 06.15 WIB, penanganannya berbeda dengan 3 gangguan sebelumnya.

"Pilot mengambil tindakan yang berbeda dengan 3 gangguan awal itu," ujar pria yang akrab disapa Cahyo‎ di gedung KNKT, Jakarta, Selasa (1/12/2015).

Inisiatif pilot dalam menangani gangguan keempat itu membuat peringatan kelima dan keenam muncul. ‎Penanganan yang dilakukan pilot membuat arus listrik ke Flight Augmentation Computer (FAC) menjadi terputus. Hal itu disebabkan karena dicabut atau di-reset-nya Circuit Breaker (CB) pada FAC. Padahal, FAC itu mengontrol 7 komponen penting. Salah satunya RTL.

 



Tindakan penanganan itu dilakukan karena pada 25 Desember 2014 atau 3 hari sebelum AirAsia QZ8501 mengalami kecelakaan, gangguan keempat‎ itu pernah muncul. Oleh teknisi saat itu, CB pada FAC tersebut dicabut ketika masih di darat atau sebelum terbang dari Surabaya, Jawa Timur, menuju Kuala Lumpur.

"Setelah gangguan keempat, penanganan tidak sesuai dengan problem. Ini human factor karena pilot melihat engineer me-reset FAC di darat pada 25 Desember 2014," ujar Cahyo.

Akibat FAC mati, maka 7 komponen, termasuk RTL, menjadi tidak berfungsi. Pun demikian, auto-pilot dan auto-thrust juga menjadi mati. Di sini, pilot dan kopilot mengambil kemudi secara manual.

Saat perubahan kemudi itu, rudder bergerak 2 derajat ke kiri. Selama 9 detik, pesawat terus mengalami kemiringan 2 derajat tiap detik. Selama 9 detik itu, pesawat terus miring sampai 54 derajat.

Bangkai dari badan AirAsia QZ8201 saat dipersiapkan untuk diangkat ke daratan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (2/3/2015).  (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam catatan di FDR, kata Cahyo, selama 9 detik ada kekosongan input dari 2 kemudi pesawat. Kemungkinannya terjadi miskomunikasi antara pilot dan kopilot. Di mana pilot meminta push down (mendorong) kemudi, tapi kopilot justru melakukan pull down (menarik) kemudi. Logikanya, jika yang satu mendorong dan satunya lagi menarik, maka hasilnya kosong.

‎"Kami melihat ada komunikasi yang tidak efektif. Satu meminta pull down, yang satu push down. Misalnya, kalau didorong 5, kemudian ditarik 5, maka hasilnya akan 0. Ini yang menyebabkan kekosongan input. Sehingga kendali pesawat jadi tidak saling terkait. Di mana kemudi 1 dan 2 tidak terhubung, jadi pilot saling tidak tahu melakukan apa," ucap Cahyo.

Setelahnya, pesawat bisa ke level stabil. Namun, tiba-tiba ada input di FDR yang menunjukkan hidung pesawat mendongak. Di sini pesawat naik dari ketinggian 32 ribu kaki ke 38 ribu kaki.

Di ketinggian itu, pesawat kembali miring hingga mencapai 104 derajat. Kemudian turun ke ketinggian sekitar 29 ribu kaki. Di ‎ketinggian ini, pesawat kembali ke level stabil. Namun, pesawat secara terus menerus turun sampai akhirnya terjun ke laut.

Di sini, pilot dan kopilot terus berusaha mengendalikan pesawat yang sudah upset condition alias sudah tak terkendali itu. Usaha tersebut terus dilakukan pilot dan kopilot sampai berakhirnya rekaman FDR atau ketika pesawat sudah jatuh di laut.

"Itu turunnya 12 ribu kaki per menit. Jadi waktu dari ketinggian 29 ribu kaki hingga sampai pesawat jatuh sampai di laut butuh waktu sekitar 2,5 menit," ujar Cahyo.**