Sukses

Hina Pengadilan Bisa Dipidana, Ini Kata Komisi Yudisial

Saat ini DPR tengah menggodog RUU Contempt of Court atau Penghinaan pada Pengadilan.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Yudisial (KY) buka suara terhadap Rancangan Undang-Undang Contempt of Court atau Penghinaan pada Pengadilan. Sebab, RUU itu menuai pro dan kontra, mengingat di dalamnya terdapat materi yang bisa memidanakan seseorang jika menghina pengadilan atau putusan hakim lewat media massa.

Menurut Ketua KY, Suparman Marzuki, seharusnya RUU itu tak hanya memikirkan pihak-pihak tertentu. Tapi juga memperhatikan hak-hak masyarakat pencari keadilan.

"Harusnya RUU itu memperhatikan hak masyarakat yang makin tinggi terhadap dunia peradilan. Termasuk untuk penegakan supermasi hukum," kata Suparman di Gedung KY, Jakarta, Rabu 2 Desember 2015.

Mengenai aturan pidana bagi orang yang mengkritik putusan hakim melalui media massa, kata Suparman, seharusnya tidak ‎bisa dipidanakan. Yakni, kritikan sesuai kode etik.

"Terutama untuk media, bila mengkritik sesuai kode etik jurnalistik, saya rasa harusnya itu tidak perlu tindak pidana," ujar Suparman.

Meski demikian, Suparman mengakui, adanya aturan yang mengatur mengenai Contempt of Court diperlukan. Tujuannya guna menjaga martabat dan keluhuran hakim. Namun, dia menggarisbawahi, jangan sampai UU itu justru mengkebiri hak-hak masyarakat yang ingin mencari keadilan.

"Tentu UU itu sangat diperlukan untuk mengikat semuanya jangan sampai menghina-hina pengadilan. Tapi tetap harus mengakomodir (hak-hak masyarakat)," kata Suparman.


Saat ini DPR memasukkan RUU Contempt of Court ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Meski sudah masuk ke dalam prolegnas, RUU ini tidak menjadi salah satu RUU prioritas DPR.

MA pun selama ini selalu mendorong pentingnya keberadaan RUU ini. Sebab hingga kini Indonesia belum memiliki UU yang mengatur tentang penghinaan terhadap pengadilan.

‎Namun, materi penghinaan kepada pengadilan oleh seseorang melalui media massa untuk dimasukkan ke dalam RUU Contempt of Court masih menimbulkan perdebatan.

Sebab, di satu sisi sejumlah kalangan menilai aturan itu bisa berpotensi membelenggu kebebasan pers. Tapi di sisi lain aturan itu dinilai beberapa pihak sangat diperlukan, karena proses maupun putusan pengadilan seringkali menjadi objek penghinaan seseorang lewat media massa.

Materi itu sejatinya sudah termuat dalam draf Revisi KUHP yang saat ini masih digodok di DPR. Misalnya, dalam Pasal 327 Revisi KUHP yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum:

a. menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;
b. tidak  mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;

c. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
d. mempublikasikan atau membolehkan untuk d‎ipubli­kasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.