Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum memutuskan sidang etik Ketua DPR Setya Novanto akan dibuka untuk umum atau tidak. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, persidangan etik terhadap rekannya itu seharusnya dilaksanakan secara tertutup.
Menurut dia, ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Sidang (etik MKD) itu memang harus tertutup. Kan orang itu belum tentu bersalah. Kenapa harus terbuka?" ujar Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/12/2015).
Dia menyarankan, jika sidang MKD ingin dilaksanakan secara terbuka, sebaiknya mengajukan judicial review terlebih dulu. Terlebih, dalam materi persidangan itu, terdapat beberapa hal yang tidak tepat untuk diketahui publik.
Baca Juga
Menurut dia, sidang etik MKD ini bermula dari permintaan seorang petinggi perusahaan swasta asing yang ingin bertemu dengan Ketua DPR Setya Novanto. Namun, pertemuan tersebut berakhir pada laporan Menteri ESDM.
"Masak Ketua DPR bisa diperlakukan gitu oleh seorang dirut swasta asing. Kita ini jangan di-devide et impera (politik adu domba) untuk hal yang tidak ada. Apalagi ujung-ujungnya untuk perpanjangan Freeport," pungkas Fadli Zon.
Sidang MKD telah berlangsung sebanyak 2 kali. Sidang pertama 2 Desember 2015, MKD menghadirkan Menteri ESDM Sudirman Said sebagai pelapor. Kemudian, pada hari berikutnya, MKD menghadirkan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.