Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Namun, dia ingin penyelesaian kasus ini dilakukan dengan pendekatan yang baik.
"Jadi kita kan sambil jalan, masih ada sedikit perbedaan pendapat, ini (kasus HAM) harus kita selesaikan dengan baik. Kita pendekatannya dengan pendekatan yang baik," kata Menteri Yasonna Laoly saat menghadiri acara Peringatan Hari HAM Sedunia di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis 10 Desember 2015.
Pendekatan yang dilakukan dapat dengan yudisial atau pun nonyudisial tergantung dengan kasusnya. "Ada 2 soal, ada yg menginginkan pendekatan pro yudisial, ada juga pendekatan nonyudisial," kata Yasonna.
Namun, pemerintah lebih cenderung menyelesaikan kasus ini dengan cara nonyudisial atau di luar jalur hukum. Pertimbangannya, setelah berbicara dengan Kejaksaan Agung, rupanya pendekatan hukum tidak dapat menyelesaikan masalah.
"Pengalaman bagaimana mengangkat ini kasus-kasus HAM menjadi pro-yudisial tidak berhasil, maka pikiran kita bagaimana kalau ini kita selesaikan dengan nonyudisial," lanjut dia.
Namun, kata Yasonna, penyelesaian baik secara yudisial atau pun nonyudisial harus disertai bukti-bukti dan pengalaman sejarah penyelesaian kasus-kasus HAM sebelumnya.
Baca Juga
"Nah kan ada keinginan dari para penggiat HAM mengatakan bahwa harus pro-yudisial. Dan ternyata mencari bukti dahulu. Ini proses panjang, kalau pengadilan maka melalui proses politik DPR harus disetujui. Pengalaman sejarah juga kan pernah beberapa kali tidak berhasil (dengan yudisial)," ucap Yasonna.
Agar penyelesaian kasus-kasus dapat diselesaikan dengan baik, dibentuklah tim khusus yang dikoordinasi Menko Polhukam yang melibatkan Menteri Hukum dan Ham, Jaksa Agung, Komnas HAM, TNI dan Polri.
"Lalu kita berembuk untuk penyelesaiannya," ujar Yasonna.
Kasus-kasus HAM masa lalu ini, kata Yasonna merupakan kasus negara, oleh karena itu penyelesaiannya juga harus dilakukan negara bukan individual. "Kita ini negara, kita menyelesaikannya secara negara bukan secara individual," imbuh dia.
Untuk itu, kata Yasonna, indikator penyelesaiannya berbeda di setiap daerah. Penyelesaian kasus di Gorontalo tentunya akan berbeda jika dibandingkan dengan daerah lain.
"Indikatornya ini kan di beberapa daerah berbeda. Ada pendekatan di Gorontalo lalu ada pendekatan Palu. Pendekatan di Palu ada beberapa tempat untuk menyelesaikannya," ujar Yasonna.
Ada pula di beberapa daerah, kata Yasona, yang dilakukan dengan bantuan dari BPJS, bantuan nyata kepada korban dan lainnya.
"Pokoknya ada cara-caranya. Jadi ini semua tidak mudah menyelesaikannya seolah ini hitam putih," ujar dia.
Yasonna pun berkomitmen akan menuntaskan kasus-kasus HAM ini dengan baik.
"Maka daripada ini menjadi dosa keturunan kita yang terus-terus menjadi tidak pernah selesai, maka kita selesaikan dengan baik. Kalau pada gilirannya nanti ada yang bisa dibawa ke yudisial, pro-yudisial ya silakan, tapi tetap opsi penyelesaian nonyudisial kita lakukan," tutup Yasonna.
Jimly Komentari Hari HAM
Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai masih banyak masyarakat maupun pejabat negara yang tidak mengetahui peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 Desember 2015. Padahal, penting diperingati guna mengetahui sejarah bangsa yang tidak lepas dari banyaknya peristiwa pelanggaran HAM.
"10 Desember itu sering dilupakan. Cukup lama, peringatan hari HAM tidak diperingati," kata Jimly dalam sebuah diskusi dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (10/12/2015).
Jimly menambahkan, banyak hal yang sering dilupakan dalam memperingati hari HAM sedunia. Di antaranya adalah isu mengenai HAM yang masih dianggap sepele dibandingkan isu-isu lainnya.
Ia mencontohkan, isu korupsi di Indonesia masih dirasa seksi dibanding isu HAM. Padahal isu HAM sendiri harus tetap diperhatikan terutama dalam pembangunan negara.
Alasan DPR Absen
Adapun Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menyindir tidak ada anggota DPR yang hadir pada Puncak Peringatan Festival Antikorupsi 2015 di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan bahwa dirinya belum menerima undangan dari KPK.
"Saya tidak cek, jangan-jangan saya juga tidak diundang. Di jadwal saya tidak ada," ujar Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (10/12/2015).
Bukan hanya Fahri, pimpinan DPR lainnya, Fadli Zon juga mengatakan hal yang sama. Dia menegaskan, jika ada undangan, maka dirinya akan hadir.
"Saya undangannya tidak lihat. Saya sebenarnya ingin datang, tapi saya cek tidak tahu di mana undangannya," ujar Fadli saat dihubungi, yang memilih menjalani sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah.
Selain itu, anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani mengatakan belum ada menerima undangan. Dia malah balik menyindir Ruki, bukan dari kehadiran para anggota ke acara tersebut, untuk memperlihatkan dukungan ke komisi antirasuah.
"Kalau Ruki mengukur dukungan DPR hanya dari kehadiran di acara KPK, maka itu itu terlalu lebay. Apalagi kalau enggak ngundang atau undangannya dadakan seperti yang sering terjadi," ungkap Arsul.
Hal serupa disampaikan anggota Komisi III lainnya, Masinton Pasaribu. Dia pun mempertanyakan sikap Ruki tersebut.
"KPK itu lembaga penegak hukum yang didukung publik, harus tegar. Jangan merengek tidak didukung," tutup Masinton.
Advertisement