Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berlarut-larut di Komisi III DPR. Dugaan menyeruak dan hal ini seakan menyandera KPK. Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Maqdir Ismail pun mengusulkan Presiden Jokowi untuk mengambil alih agar persoalan tersebut tidak berlarut-larut.
"Supervisi KPK ini sebenarnya tidak jalan. Saya kira lebih baik diambil-alih saja oleh Presiden. Termasuk urusan menunjuk komisioner KPK," ujar Maqdir dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (12/12/2015).
Pria yang juga berprofesi sebagai advokat itu menegaskan pengambilan alih itu bukan dalam posisi presiden sebagai kepala pemerintahan. Mengingat KPK tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.
"Jika memang Presiden ingin mengambil alih, maka Presiden bertindak selaku kepala negara bukan kepala pemerintahan," ujar Maqdir.
Peneliti senior dan ahli hukum tata negara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bvitri Susanti mendukung jika Presiden mengambil alih persoalan capim KPK.
"Presiden untuk menunjuk langsung itu baik. Tapi sejauh mana kita harus percaya Presiden? Namun, saya yakin dengan Presiden yang dipilih populis ini bisa memahami apa yang diinginkan masyarakat," kata Bivitri.
Baca Juga
Di tempat yang sama, ahli sinologi Universitas Indonesia Dahana mencontohkan yang terjadi di China. Lembaga yang mirip KPK di Negeri Tirai Bambu itu semuanya bertanggung jawab dengan Presiden.
"Di China itu ada lembaga juga (semacam KPK). Tapi lembaga itu langsung di bawah Presiden. Ini bisa menjadi contoh," ujar Dahana.
Komisi III DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap 8 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) pada 14 hingga 16 Desember 2015.
Â
Mereka juga telah memanggil 8 capim KPK pada Jumat 4 Desember 2015. Para capim menjalani tes membuat makalah sebelum fit and proper test.
Presiden Joko Widodo telah menyerahkan 8 nama capim KPK hasil seleksi Pansel KPK kepada DPR. Mereka adalah Saut Situmorang dan Surya Chandra (bidang pencegahan). Kemudian Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan (bidang penindakan), Agus Raharjo dan Sujanarko (bidang manajemen), serta Johan Budi Sapto Prabowo dan Laode Muhammad Syarif (bidang supervisi).**
Advertisement