Liputan6.com, Jakarta - Menteri Sosial Khofifah Indarparawansa mempertanyakan status artis Nikita Mirzani dan model Puty Revita yang hanya berstatus sebagai korban protitusi online dalam kasus tindak perdagangan orang. Kedua publik figur itu diamankan bersama muncikari O dan F pada Kamis malam 10 Desember 2015.
‎"Sekarang kita cek, kalau betul dia korban adakah dia di dalam pemaksaan, di dalam ancaman, dapat kekerasan?" ucap Khofifah di Wisma Antara, Jakarta Pusat, Senin (14/12/2015).
Menurut Khofifah, Nikita dan Puty bisa jadi bukan korban. Apalagi jika sudah terjadi kesepakatan antara keduanya dan muncikari. Dia menilai, jika sudah ada kesepakatan, baik soal harga, tempat, dan siapa konsumennya, maka otomatis kedua perempuan seksi itu telah menyetujui protitusi tersebut.
Baca Juga
"Kalau itu atas persetujuan, maka mereka sebetulnya bukan korban," ucap menteri asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
‎
Meski begitu, Khofifah mengakui, jika aparat keamanan menggunakan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), maka Nikita dan Puty serta penjaja seks komersial (PSK) lainnya akan lepas dari jerata pidana. Mengingat, dalam UU TPPO hanya diatur mengenai penjeratan terhadap pelaku yang memperdagangkan mereka.
‎"Kalau semua menggunakan UU TPPO, mereka (PSK) itu tidak akan terjerat. Karena apa? Karena kemudian si penjaja seks komersial ini ditempatkan sebagai korban. Di UU TPPO tidak ada klausul (PSK terjerat) itu," ujar dia.
Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri‎ mengamankan 4 orang terkait dugaan protitusi online di sebuah hotel di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat pada Kamis 10 Desember 2015 malam. Keempatnya adalah artis Nikita Mirzani, model sekaligus finalis Miss Indonesia 2014 Puty Revita, serta muncikari berinisial O dan F.
Dalam perkembangannya, Bareskrim Polri menetapkan O dan F sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). ‎Sementara Nikita dan Puty distatuskan sebagai korban dan ditempatkan di panti sosial milik Dinas Sosial Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.‎