Liputan6.com, Jakarta - Calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Roby Arya Brata setuju Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK direvisi. Terlebih, revisi UU KPK telah disepakati melalui paripurna DPR pada Senin, 14 Desember 2015.
Revisi UU KPK itu nantinya diusulkan menjadi inisiatif pemerintah dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Sebab, Roby menilai banyak kelemahan dalam UU KPK yang harus diubah.
Baca Juga
"Saya berani revisi UU KPK, ada banyak kelemahan. Pertama, soal akuntabilitas dan pengawas eksternalnya bahwa hampir semua penegak hukum punya itu. Hanya KPK yang belum ada. Pimpinan KPK beralasan ada pengawas internal dan DPR, itu tidak cukup," ucap Roby sebelum fit and proper test Capim KPK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (15/12/2015).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Roby, bila hal itu dibiarkan, maka KPK akan menjadi liar. Robby pun kembali mengingatkan kasus Komjen Budi Gunawan yang pernah menjadi tersangka dalam kasus dugaan 'rekening gendut' oleh KPK.
Namun, jenderal polisi bintang 3 itu menang saat mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Status tersangka pun secara otomatis gugur.
"Isu tebang pilih semua tahu, seperti kemarin kasus Budi Gunawan. Ia disasar saat mau jadi Kapolri, padahal kasusnya sudah lama. Kalau dibiarkan ini KPK akan liar, apalagi jika KPK ini perpanjangan orang politik, bisa disikat orang-orang ini," ujar Roby.
Dia mengakui, revisi UU KPK ini tidak dapat memuaskan semua pihak. Namun, ia mendukung revisi UU KPK ini. Terutama 1 dari 4 hal yang menjadi catatan pemerintah, yakni pembatasan penyadapan harus izin pengadilan.
"Saya sepakat penyadapan diatur kembali agar akuntabilitas dan transparansi penyidik terjaga. Jangan sampai ini digunakan untuk kepentingan menyadap lawan politik," kata Robby.
Tak Boleh Tunduk Permanen
Sementara itu, capim KPK Surya Tjandra memandang, pimpinan lembaga antirasuah tidak boleh tunduk secara permanen terhadap institusi yang lebih tinggi, termasuk presiden. Hal tersebut ia katakan saat menjalani fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan capim KPK bersama Komisi III DPR.
Menurut dia, sekalipun secara kelembagaan berada di bawah Presiden, KPK tetap wajib menindaklanjuti kasus korupsi. Terutama, bila hal itu melibatkan presiden.
"Bukan berarti presiden tidak dapat ditindak oleh KPK. KPK itu tunduk sekaligus tidak tunduk terhadap Presiden," ucap Surya di hadapan anggota Komisi III di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (15/12/2015).
Surya menilai, keberanian untuk mengusut kasus korupsi di level elite seperti presiden kemungkinan akan terdengar tabu bagi beberapa capim KPK lain. Namun, sikap keberanian merupakan sesuatu yang wajib dimiliki seorang pimpinan KPK.
"Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) punya model pencegahan yang paling efektif, karena terbuka dan transparan. Tetapi, bukan berarti Ahok enggak bisa ditindak kalau salah, termasuk presiden," imbuh Surya.
Pada hari ini, Komisi III DPR kembali menggelar proses uji kepatutan dan kelayakan terhadap sejumlah calon pimpinan KPK. Proses yang berlangsung sejak Senin, 14 Desember 2015, dijadwalkan akan berlangsung selama 3 hari hingga Rabu, 16 Desember 2015.