Sukses

Setya Novanto Mundur, Deja Vu bagi Golkar

Soeharto secara 'sukarela' mendengarkan suara rakyat untuk melepaskan jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Istilah Jawa 'lengser keprabon' mengingatkan kepada sosok mantan Presiden Republik Indonesia Soeharto. Pria yang akrab disapa 'Pak Harto' harus mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998.

Soeharto secara 'sukarela' mendengarkan suara rakyat untuk melepaskan jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun. Kenangan itu pun menjadi bagian dari sejarah Golkar, partai bentukannya.

17 tahun lamanya peristiwa itu menjadi kenangan. Namun, tepat pada 16 Desember 2015, Golkar mengalami deja vu. Peristiwa serupa terjadi.

Salah satu kadernya yang menjadi orang nomor satu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto, meletakkan jabatannya, setelah mendapat desakan dan sorotan untuk mundur terkait kasus 'Papa Minta Saham'.

Langkah itu diambil, sebelum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR mengambil putusan atas aduan Menteri ESDM, Sudirman Said. Hampir seluruh fraksi, termasuk Golkar, berpandangan dia melanggar etik.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan tindakan Setya memang mirip dengan sikap Soeharto.

"Apa yang dilakukan oleh Setya Novanto dan Soeharto memang mirip. Sama-sama menyatakan mundur. Dia (Setya) tak mengajukan permohonan mundur terlebih dahulu, di mana sebelum ada putusan MKD. Sama dengan Pak Harto yang tak mengajukan permohonan mundur ke MPR," kata Asvi kepada Liputan6.com, Kamis (17/12/2015).

Menurut dia, yang membuat berbeda adalah kejadian pascakemunduran kedua tokoh besar Golkar itu.

"Ketika Soeharto menyatakan berhenti, Wiranto siap melindungi. Sementara, Setya mundur, ini enggak ada siap menjaganya, kecuali hanya pembela (pengacara) Setya," ujar Asvi.

Dia juga menuturkan, dengan mundurnya Setya, membuat Golkar kembali mempunyai sejarah kelam. Dia memiliki orang yang memimpin bangsa ini, namun didesak mundur oleh publik.

"Iya ini menjadi sejarah kelam Golkar. Meskipun sama-sama mendapatkan desakan dari publik untuk mundur, Soeharto lebih memiliki masalah yang lebih kompleks daripada Setya Novanto," pungkas Asvi.