Sukses

Jembatan 'Maut' Bengkulu, dari Akses Perampok sampai Rute Sekolah

Jembatan ini menjadi akses utama warga agar bisa menghemat waktu dan ongkos perjalanan ke daerah kota.

Liputan6.com, Bengkulu - Keberadaan jembatan gantung sebagai sarana penghubung antara wilayah Kecamatan Muara Bangkahulu dan Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu yang sering disebut 'jembatan maut' ini ternyata menyimpan sepenggal kisah.

Jembatan sepanjang 100 meter yang digunakan warga khususnya para pelajar untuk menimba ilmu di SMP Negeri 10, Madrasah Ibtidayah Negeri dan SD Negeri 65 itu, dulunya digunakan oleh para rampok untuk melarikan diri.

Petugas Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) Bripda Heri Maras yang bertugas di Kelurahan Rawa Makmur mengatakan, sebelum banyak warga yang tinggal di bantaran adalah jalur penghubung para rampok yang datang dari jalan utama Kelurahan Sumakerindu.

"Mereka memarkirkan kendaraan di Jalan Irian, kemudian melakukan aksi kejahatan di sekitar sini, ini merupakan jalan utama mereka melarikan diri usai menjarah, tetapi itu dulu, sewaktu kawasan sini masih sepi," tegas Heri di Bengkulu (20/12/2015).

Rasa trauma masyarakat pada jembatan maut ini masih terasa hingga sekarang, tetapi karena kebutuhan untuk jalur ekonomi, kesehatan dan pendidikan, keberadaan jembatan gantung menjadi sebuah akses utama.



"Sebab jika ingin menggunakan jalur lain, warga harus menempuh jalur memutar dengan selisih jarak hingga 5 kilometer. Warga berharap jika Jembatan Gantung ini diperbaiki, sebaiknya juga dibangun Pos Ronda, agar masyarakat bisa menjaga keamanan dan kenyamanan kawasan," papar Heri.

Angkernya jembatan di Bengkulu juga harus dialami oleh dua pelajar SMP Negeri 10 Kota Bengkulu, Ahmad Dhani dan Rusmaryanto. Hal itu dilakukannya demi terus mengenyam bangku pendidikan.

Bukan hanya jalan berbatu dan berlumpur yang harus ditempuh. Dua pelajar yang tinggal di Kelurahan Rawa Makmur ini juga harus melewati rintangan ekstrem, yakni jembatan gantung dengan kondisi rusak parah.

Rintangan itu harus dilalui para pelajar sebelum bisa menapakkan kaki ke sekolah yang berjarak 3 kilometer dari rumahnya. Dengan penuh kewaspadaan, mereka saling memperingatkan saat meniti papan yang sudah lepas sebagian.

Belum lagi tali besi atau sling yang berkarat dengan kondisi sangat mengkhawatirkan. Kondisi ini tentu menjadikan aktivitas penyeberangan ini penuh risiko.

"Kamu jalan duluan, hati-hati di tengah itu ada satu tali yang tidak bisa dipegang lagi," ujar Dhani sambil merapikan celana  pramukanya.

Setibanya di ujung jembatan, Dhani dan Yanto mengatakan, keinginan untuk tetap bersekolah memaksa mereka menempuh risiko, harus melewati jembatan yang di bawahnya mengalir air Sungai Bentiring dengan kedalaman hingga 10 meter.