Liputan6.com, Jakarta - Tepat setahun yang lalu kabar duka datang dari langit, di antara Surabaya, Jawa Timur dan Singapura. Minggu 28 Desember 2014Â pagi, pesawat AirAsia QZ8501 yang diterbangkan Kapten Irianto menghilang tanpa jejak.
Burung besi jenis Airbus A320-200 itu hilang ketika tengah mengudara dengan 162 orang di dalamnya yang mayoritas merupakan warga Indonesia.
Beberapa jam usai dikabarkan hilang, pesawat milik maskapai asal Malaysia itu diketahui jatuh ke laut usai terbang sekitar 1 jam dari Bandara Juanda, Jawa Timur menuju Bandara Changi, Singapura.
Baca Juga
Saat itu dunia mengaku, proses pencarian dan evakuasi korban AirAsia sebagai salah satu yang tercepat. Kala itu kerja keras TNI dan Basarnas dikagumi seantero Bumi.
Untuk mengenang 1 tahun tragedi itu, Liputan6.com mencoba merangkum momen-momen dalam proses pencarian dan evakuasi AirAsia QZ8501.
Berikut catatannya yang dihimpun, Senin (28/12/2015):
Tak Pernah Sampai Tujuan
Pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 awalnya dijadwalkan terbang dari Bandara Juanda pada pukul 07.30 WIB. Namun, tiba-tiba pihak maskapai memajukan waktu take off menjadi pukul 05.20 WIB.
Pihak maskapai sudah memberitahukan perubahan jadwal itu, lewat email dan telepon pada 15 dan 26 Desember 2014. Tapi tak semua calon penumpang mengetahui perubahan yang dikirim oleh pihak AirAsia.
Ada 10 calon penumpang berkerumun di depan gerai check in AirAsia pagi itu. Mereka kesal bukan main saat petugas menginformasikan, bahwa pesawat yang seharusnya membawa mereka ke Singapura sudah terbang lebih dari 2 jam yang lalu.
"Saat itu jelas kami marah-marah," kata Christianawati.
Kemarahan perempuan asal Surabaya itu wajar adanya, sebab dia bersama keluarga kakak lelakinya hendak merayakan tahun baru di Singapura. ‎Persiapan pun telah dilakukan, namun apa daya mereka terpaksa balik kanan.
Tapi siapa sangka. Tuhan berkehendak lain. Ketidaktahuan Christianawati bersama keluarganya tentang perubahan jadwal take off AirAsia QZ8501 justru menyelamatkannya dari kemungkinan celaka.
Sementara di seberang sana, di Bandara Changi di waktu yang hampir bersamaan, Chiara Natasya tak tahu hiruk pikuk di jagat maya yang heboh tentang kabar pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak. Sendirian ia menanti keluarganya di Terminal 1 Bandara Changi. Ayah, ibu, dan 2 saudara lelakinya dalam perjalanan dari Surabaya untuk menengoknya.
"Seharusnya ini menjadi saat terbaik untuk berkumpul bersama keluarga. Kami berencana berlibur bersama," kata siswi sebuah SMU di Singapura itu seperti dimuat situs The Star. Saat itu, ia tak sabar menunjukkan kamar asramanya pada keluarganya.
Namun, pesawat yang seharusnya mendarat pukul 08.30 waktu setempat tak pernah tiba. Chiara yang berusia 15 tahun, kini sebatang kara. Gadis kalem itu berduka dalam diam--di tengah kehebohan dan kekagetan dunia terhadap kabar hilangnya AirAsia QZ8501.
AirAsia QZ8501 dengan register PK-AXC pun dinyatakan DETRESFA atau resmi hilang pukul 07.55 WIB. Terakhir pilot Kapten Iriyanto berkomunikasi dengan pihak Air Traffic Control (ATC) Bandara Soekarno-Hatta pukul 06.18 WIB.
Sebelum putus kontak, ada 2 permintaan pilot kepada menara kontrol. Yakni, pilot meminta izin naik dari ketinggian 32 ribu kaki ke 38 ribu kaki dan meminta sedikit belok ke kiri.
Permintaan berbelok kiri diizinkan. Namun, permintaan naik ke 38 ribu ditolak pihak ATC, sebab di atas jalur M365‎ yang dilalui AirAsia QZ8501 ada pesawat lain yang tengah terbang. Setelah permintaan itu, sang burung besi hilang dari radar dan putus komunikasi.
Advertisement
Luasnya Pencarian
Berdasarkan informasi, AirAsia QZ8501 melakukan kontak terakhir di titik koordinat 03.22.46 Lintang Selatan dan 108.50.07 Bujur Timur. Titik tersebut berada di sebelah utara Laut Jawa dekat dengan Selat Karimata.
Kabar hilangnya AirAsia QZ8501 itu pun meluas kemana-mana. Pencarian besar pun dilakukan oleh seluruh jajaran aparat--mulai dari Basarnas, TNI, dan Polri, serta armada dari sejumlah negara sahabat--sejak resmi dinyatakan hilang.
Tim gabungan itu pada awalnya menduga pesawat jatuh ke laut atau perairan antara Pulau Bangka dan Kalimantan. Perkiraannya, lokasi tersebut berjarak sekitar 4 jam dengan kapal dari Belitung Timur.
Namun, usai beberapa hari melakukan analisa, pihak tim gabungan memastikan, AirAsia QZ8501 jatuh di lokasi lost contact. Yakni di titik koordinat 03.22.46 Lintang Selatan dan 108.50.07 Bujur Timur.‎ Tepatnya di perairan Laut Jawa bagian utara dekat Selat Karimata.
Pencarian pun difokuskan ke titik koordinat tersebut. Lokasi pencariannya dibagi empat sektor prioritas, yakni Sektor I, II, III, dan IV. ‎Di luar itu ada sejumlah sektor lagi yang dipetakan.
Di Sektor I pencarian dilakukan pesawat Boeing 737 milik TNI AU. Di Sektor II penyisiran ditugaskan kepada pesawat Orion milik Korea Selatan. Sektor III diisi oleh Rusia dengan pesawat amfibi miliknya, BE-200.‎ Sementara, kapal USS Sampson milik Angkatan Laut Amerika Serikat mendapat perintah pencarian di Sektor IV.
‎Misi sulit pencarian pun dimulai. Bukan hanya diharuskan menemukan titik tepat jatuhnya pesawat itu. Tetapi para personel tim gabungan juga harus menghadapi medan yang berat dengan kondisi cuaca buruk.
Desember-Januari saat itu intensitas hujan sedang tinggi-tingginya. Belum lagi di sekitar sektor pencarian juga diterpa angin dengan kecepatan minimal 25-30 knot.
Hiruk-pikuk Pangkalan Bun
Usai dipastikan titik koordinat pesawat Airasia QZ8501, pemerintah melalui tim gabungan kemudian memilih Pangkalan Udara (Lanud) Iskandar, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah sebagai Posko Utama‎ Pencarian dan Evakuasi Kecelakaan AirAsia QZ8501.
Lanud Iskandar dikomandoi oleh Letnan Kolonel Penerbang Johnson Simatupang. Tapi tak banyak yang mengetahui keberadaan Lanud Iskandar ini. Bahkan prajurit TNI AU sekalipun. Lanud tipe C pada Komando Operasi Angkatan Udara (Koopsau) II ini memiliki luas 3000,6 hektar. Lebih luas dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur dan Lanudal Juanda, Sidoarjo.
Sejak menjadi Posko Utama, Lanud Iskandar pun menjadi sibuk bukan main. Sejumlah pesawat dan helikopter milik para pihak dalam tim gabungan bolak-balik take off-landing‎. Yang tadinya sepi, kini menjadi begitu ramai. Beragam aktivitas pun dilakukan pada siang hari. Mulai dari personel TNI, Polri, Basarnas, PMI, jurnalis, relawan, dan lainnya tumpah ruah di lanud ini.‎ Sibuk beraktivitas pada tugas masing-masing.
Seiring aktivitas terkait proses pencarian dan evakuasi AirAsia QZ8501, Lanud Iskandar pun menjadi sering diekspos. Perlahan-lahan, lanud ini pun mulai diketahui khalayak.
Tapi bukan kali ini saja, Lanud Iskandar menjadi saksi sebuah peristiwa penting dalam sejarah di Indonesia. Puluhan tahun silam, tepatnya 17 Oktober 1947, Lanud Iskandar juga pernah menjadi saksi penerjunan pertama oleh 13 penerjun Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI--kini TNI AU).
Mereka terjun payung untuk menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia kepada rakyat di Kalimantan sebagaimana dititahkan. Sebab, meski sudah 2 tahun sejak Sukarno memplokamirkan kemerdekaan Indonesia, namun tidak semua masyarakat tahu kalau republik ini telah merdeka. Apalagi, mereka yang tinggal di pojok terpencil Nusantara.
Ketiga belas penerjun melaksanakan tugas yang diperintahkan Gubernur Kalimantan saat itu, Muhammad Noor. Sang pemimpin daerah meminta AURI mengirim pasukan penerjun untuk membuka stasiun radio di Borneo, tepatnya di Pangkalan Bun.‎ Melalui stasiun radio itu nantinya kemerdekaan Indonesia disiarkan luas dan sampai ke telinga masyarakat Kalimantan.
Penerjunan pun dimulai para penerjun AURI itu dari Pesawat Dakota C-47 RI-002. Target mereka adalah mendarat di lanud yang pernah dikuasai tentara Jepang tersebut.
Sayang, target meleset. Ketiga belas penerjun 'nyasar' beberapa kilometer dari titik pendaratan yang direncanakan. Mereka menjejakkan kaki di Desa Sambi, Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat. Semua gara-gara cuaca buruk.
Tak hanya diombang-ambingkan angin, 13 penerjun juga harus berperang melawan tentara Belanda ketika menjejak tanah di Desa Sambi. Mereka berperang ketika berupaya mencari tempat untuk mendirikan stasiun radio.
Perang melawan tentara Belanda yang masih bernafsu menguasai Indonesia itu mengakibatkan 3 dari 13 prajurit penerjun tertembak. Sisanya ditangkap. Salah satu yang tertembak adalah Sersan Udara Iskandar, pemimpin operasi penerjunan.
Untuk mengenang jasa dan keberaniannya, Iskandar diabadikan menjadi nama pangkalan udara di Pangkalan Bun itu.
Advertisement
Jasad Mengapung
3 hari berlalu. Tepat pada Selasa 30 Desember 2014, tim gabungan mulai menemui titik terang. Mereka menemukan beberapa objek mengapung. Diduga bagian dari AirAsia QZ8501.
9 personel TNI AU yang terbang menyisir menggunakan pesawat CN-295 dari Bandara Halim Perdanakusuma menemukan objek pertama yang ditengarai serpihan AirAsia QZ8501.
Usai melaporkan temuan itu ke Posko Utama Pencarian dan Evakuasi di Pangakalan Bun, tim lain pun bergerak menuju lokasi dimaksud.
Benar. Ternyata serpihan yang ditemukan itu adalah emergency exit door. Segera serpihan itu dievakuasi dan dibawa ke Pangkalan Bun. Namun tak berselang lama, serpihan lain ditemukan di sekitar penemuan pintu keluar darurat tersebut.‎ Di antaranya aspirator assembly dan reservoir. Juga diduga adalah bagian dari pesawat AirAsia QZ8501.
Benda-benda tersebut berada di koordinat 03.50.112 Lintang Selatan dan 110.29 Bujur Timur atau di sebelah barat Teluk Kumai, Kalimantan Tengah.
Tak berselang lama, ditemukan objek lain yang mengapung. Sangat mengagetkan. Sebab, objek mengapung itu adalah sosok mirip jasad. Hanya menggunakan pakaian dalam.
Beberapa hari kemudian, satu per satu serpihan dan jasad penumpang berhasil ditemukan lalu dievakuasi. Usai diidentifikasi awal di Pangkalan Bun, jenazah-jenazah itu kemudian diterbangkan ke Posko Disaster Victim Identification (DVI) dan Crisis Center di Surabaya, untuk proses identifikasi lebih lanjut.
Black Box Ditemukan
Hampir 2 minggu tim gabungan melakukan pencarian dan evakuasi berbagai serpihan dan jenazah dari lokasi pencarian. Di antara rasa lelah dan cuaca buruk yang kerap menghadang, masih ada 1 tugas lain lagi yang tak kalah penting.
Tugas itu, yakni menemukan dan mengevakuasi kotak hitam alias blackbox AirAsia QZ8501. ‎Kotak 'rahasia' yang umumnya berada di bagian ekor pesawat itu menjadi wajib ditemukan. Sebab, dari kotak berwarna oranye tersebut penyebab jatuhnya AirAsia QZ8501 bisa dikuak oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Senin 12 Januari 2015 pagi, ‎tim penyelam gabungan dari TNI AL akhirnya berhasil menemukan dan mengangkat flight data recorder (FDR). FDR merupakan salah satu bagian dari yang disebut blakbox. Satu lagi adalah cockpit voice recorder (CVR).
Penemuan black box ini diawali dari deteksi pinger detector milik Kapal Navigasi Jadayat, Jumat 9 Januari 2015. FDR terdeteksi sekitar 1,7 mil laut dari lokasi ekor pesawat yang sebelumnya telah ditemukan.
Sehari berselang, gantian CVR ditemukan dan dievakuasi oleh tim penyelam gabungan dari TNI AL. Kotak itu ditemukan berada di bawah puing-puing yang tertutup pasir. Sama dengan FDR, penemuan CVR ini juga diawali dari sinyal ping yang terdeteksi.
Pencarian black box AirAsia ini sempat terkendala cuaca buruk di perairan Laut Jawa. Namun dalam 3 hari belakangan cuaca cukup mendukung, sehingga memudahkan proses pencarian oleh tim penyelam gabungan TNI AL.
Kedua kotak hitam pun langsung dibawa ke kantor KNKT di Jakarta setelah dievakuasi.
Kurang lebih 11 bulan kemudian, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkapkan hasil investigasi terhadap penyebab jatuhnya pesawat.
Investigator KNKT, Nurcahyo Utomo membeberkan, ada sejumlah faktor yang berkontribusi pada kecelakaan pesawat nahas itu. Salah satunya retakan solder pada electronic module di Rudder Travel Limiter Unit (RTLU) dan sistem perawatan pesawat dan analisis di perusahaan yang belum optimal.
Dari hasil investigasi diketahui bahwa faktor terbang yang sempat dipermasalahkan dan cuaca selama penerbangan dari Surabaya ke Singapura tidak terkait dengan kecelakaan ini.
"Hal-hal seperti perizinan rute penerbangan dianggap tidak terkait pada kecelakaan ini. KNKT juga tidak menemukan tanda-tanda atau pengaruh cuaca yang menyebabkan kecelakaan ini," ucap investigator KNKT Nurcahyo Utomo dalam jumpa pers di kantor KNKT, Jakarta, 1 Desember 2015.
Advertisement