Sukses

Terduga Pembakar Hutan Menang Sidang, Aktivis Lingkungan Mengecam

Kasus pembukaan lahan tak berizin, kata Syahrul, bukan tidak mungkin dapat dijerat hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Koalisi Antimafia Hutan, mengecam putusan hakim Pengadilan Negeri Palembang dalam perkara gugatan perdata Nomor 24/Pdt G/2015/PN Plg.

Gugatan ini dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kepada PT Bumi Mekar Hijau (BMH), karena diduga sengaja membuka lahan dengan cara membakar hutan di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Namun, putusan hakim Pengadilan Negeri Palembang yang dipimpin Hakim Ketua Parlas Nababan, menolak gugatan Kementerian LHK yang menuntut agar BMH membayar kerugian Rp 7,8 triliun.

Dalam beberapa pertimbangan, hakim menilai kebakaran tak merusak lahan karena masih bisa ditumbuhi tanaman akasia. Majelis hakim menilai, tanaman akasia turut terbakar sehingga perusahaan itu mengalami kerugian.

"Hakim mengatakan kebakaran terjadi di luar konsesi. Itu ada dalam putusan. Hakim melihat kebakaran hanya sebatas kayu," ujar Peneliti Hukum Sektor Kehutanan Auriga, Syahrul Fitra di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (6/1/2016).

"Tapi kerugian negara seperti ekonomi itu tidak dilihat. Ada kerugian Rp 50 triliun di situ. Sebenarnya biaya yang keluar untuk kesehatan juga harus dihitung," sambung dia.


Kasus seperti ini, kata Syahrul, bukan tidak mungkin dapat dijerat hukum. Ia mencontohkan penanganan hukum perusahaan sawit, PT Kallista Alam yang beroperasi di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Di mana, lanjut Syahrul, Kallista Alam dihukum Pengadilan Negeri Meulaboh karena membuka lahan tanpa izin dan membakar lahan di atas tanah gambut yang memiliki ketebalan lebih dari 3 meter.

"Bumi Mekar Hijau kan tidak dibuktikan secara scientific, apakah dia benar kebakaran yang terjadi itu tidak merugikan? Harus ada pembuktian terbalik. Hakim hanya melihat kerugian korporasi tanpa melihat kerugian yang lain. Banyak kok yang bisa dibuktikan seperti PT Kallista dan BP Oil di Meksiko," kata dia.

Syahrul menduga, hakim Parlas beserta 2 hakim lainnya tidak memiliki pemahaman konsep lingkungan hidup dan teknis kehutanan. Sehingga, putusan hakim tidak memiliki perspektif dalam kasus peradilan lingkungan hidup.

"Kami mengharapkan ada prioritas hakim lingkungan, saat perkara-perkara lingkungan. Sekarang tidak ada lagi keharusan hakim lingkungan mengadilkan perkara lingkungan," pungkas Syahrul.

Dalam keterangan tertulis yang diterbitkan Koalisi Antimafia Hutan, aktivis lingkungan menuntut Mahkamah Agung (MA) agar memeriksa majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang mengadili perkara Kementerian LHK dan PT BMH.

Koalisi ini juga akan melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan Kementerian LHK, ke Komisi Yudisial terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim.