Liputan6.com, Bogor - Praktik ilegal pembakaran ban bekas dari pabrik kapur di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, masih terus terjadi hingga saat ini. Bahkan, asap hitam yang mengepul setiap hari telah mengakibatkan ribuan warga Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, terkena penyakit gangguan saluran pernapasan.
Berdasarkan laporan dari pemerintah Desa Benteng, warga di 2 kampung, yakni Gedong Sawah dan Gedong Temi, mengeluhkan penyakit yang ditimbulkan dari asap pembakaran batu kapur yang menggunakan ban bekas itu.
"Yaitu RW 01, 03 dan 06. Totalnya ada sekitar 6.000 jiwa," ucap Kepala Desa Benteng Faka Harika di Bogor, Jumat, 8 Januari 2016.
Saat ini aparatur desa dengan petugas puskesmas setempat sedang mendata warga yang mengeluhkan sakit pernapasan. "Jumlahnya masih didata," kata dia.
Baca Juga
Menurut Faka, warga Desa Benteng mulai mengeluhkan asap sejak pengolahan batu kapur diganti menggunakan ban bekas dari serbuk gergaji.
"Dulu sempat dilarang dan mereka menggantinya pakai serbuk gergaji. Tapi mereka beralih lagi menggunakan ban bekas sebagai bahan bakar. Asapnya pekat dan bau," kata Faka.
Persoalan ini, kata dia, sudah beberapa kali dibahas di Kantor Kecamatan Ciampea dan Pemerintah Kabupaten Bogor. Namun, tidak ada perubahan.
Camat Ciampea Juanda Dimansyah mengakui praktik pembakaran ban secara ilegal masih terjadi. Hanya saja aktivitasnya sudah tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.
"Kami sudah beberapa kali lakukan tindakan dan meminta untuk mengganti bahan bakar menggunakan serbuk gergaji. Kalau tidak akan disegel," ucap dia.
Namun, pemilik tungku melakukan aktivitas pembakaran kapur menggunakan ban bekas secara kucing-kucingan.
"Sulit. Karena pembakaran kapur ini sudah menjadi mata pencaharian tetap penduduk di desa. Jadi, kami berhadapan dengan masyarakat yang sudah bekerja puluhan tahun sebagai penggali kapur secara turun-temurun," Juanda menjelaskan.
Hasil Uji Lab
Aktivitas pembakaran kapur menggunakan bahan bakar ban bekas mengakibatkan ribuan warga Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengalami gangguan pernapasan akut atau ISPA.
Kondisi ini membuat Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan (LHK) turun ke lapangan pada Jumat, 8 Januari 2016.
Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Udara Industri Ekstraktif KLHK Irfan Ramadiansyah mengatakan kedatangan tim dari LHK untuk memverifikasi dan mengumpulkan data di Desa Benteng terkait permasalahan pencemaran udara yang ditimbulkan dari asap pembakaran kapur menggunakan cubluk (tungku raksasa).
"Kami telah menyiapkan sejumlah langkah untuk menindaklanjuti masalah lingkungan ini," ujar Irfan.
Tahap pertama adalah melakukan verifikasi dan pengumpulan data. Selanjutnya, ia dan tim berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk melakukan kunjungan ke lapangan.
Tahap kedua, ucap Irfan, melakukan uji laboratorium terhadap udara di Desa Benteng. Jika memang terbukti baku mutu udara tidak memenuhi standar akibat asap dari aktivitas pembakaran kapur, maka akan dicarikan solusi supaya menguntungkan semua pihak.
"Karena menyangkut hajat hidup orang banyak jadi tidak harus ditutup. Ada alternatif lain, mengganti bahan bakar atau membatasi waktu aktivitas," kata Irfan.
Berlangsung Puluhan Tahun
Kepala Desa Benteng menegaskan aktivitas penambangan kapur sudah berlangsung puluhan. Bahkan secara turun-temurun proses pembakaran kapur dilakukan di area perbukitan yang letaknya masuk Desa Ciampea.
"Empat tahun silam sempat ditertibkan. Boleh beroperasi asalkan pakai bahan bakar serbuk gergaji, tapi tak lama pakai ban bekas lagi," kata Faka.
Kemudian pada 2015, aparatur Kecamatan Ciampea kembali memfasilitasi pertemuan antara Desa Benteng dan Ciampea untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan ini. Akhirnya disepakati menutup sejumlah cubluk.
"Tapi tidak lama beraktivitas kembali. Memang sangat sulit karena cubluk juga menjadi mata pencaharian utama warga di sana," papar Faka.
Warga akhirnya mengirimkan surat pengaduan kepada Bupati Bogor, dengan tembusan ke sejumlah instansi terkait. "Alhamdulillah, sekarang didengar," tutur Faka.
Faka menyebutkan di Desa Benteng ada 7 RW dengan jumlah penduduk sekitar 13.000 jiwa. Namun, lokasi yang terdampak polusi udara dan polusi suara ledakan pemecah batu kapur antara lain RW 1, RW 3, dan RW 6.
"Jumlah warga yang mengalami gangguan (pernapasan) bisa mencapai ribuan. Sekarang lagi didata," ucap Faka.
Aktivitas penambangan gunung kapur berlangsung pada pagi dan malam hari. "Di sana ada 2 perusahaan besar dan warga setempat yang menjadi produsen lokal batu kapur di sekitar 50 cubluk," Faka menjelaskan.**
Advertisement