Liputan6.com, Jakarta - Istilah autopsi mungkin sudah hal umum bagi dunia kedokteran maupun kepolisian. Namun istilah ini mungkin masih awam bagi masyarakat umum, sehingga tak jarang banyak keluarga yang tidak ingin keluarganya diautopsi.
Sebut saja kasus kematian Allya Siska Nadya yang meninggal usai terapi di klinik Chiropractic First. Keluarga Allya menolak putrinya diautopsi. Begitu juga dengan Wayan Mirna Salihin yang baru-baru ini meninggal usai menyeruput kopi di restoran Grand Indonesia pada Rabu, 6 Januari 2016.
Untuk mengungkap kasus-kasus kematian seperti ini, autopsi sangat dibutuhkan agar penyebab kematian dapat diketahui.
Mengutip keterangan tertulis dari dokter forensik Polda Jateng AKB dr Sumy Hastry Purwanti, Senin (11/1/2016), autopsi biasanya dilakukan bila terjadi suatu kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh manusia dalam keadaan meninggal atau hidup.
"Sedangkan ilmu kedokteran forensik sendiri adalah ilmu yang mempelajari penerapan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan," kata Hastry.
Asal kata 'autopsi' adalah 'auto' yang berarti sendiri dan 'opsis' yang berarti melihat. Jadi autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh jenazah, meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam.
"Tujuan autopsi menemukan terjadinya penyakit dengan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian,"Â Hastry menjelaskan.
Di Indonesia, ilmu kedokteran forensik tidak sama dengan hukum kedokteran (medical law). Fungsi ilmu kedokteran forensik adalah membantu penegak hukum menentukan apakah suatu peristiwa yang sedang diselidiki merupakan peristiwa pidana atau bukan.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, ujar Hastry, autopsi dapat membantu penegak hukum mengetahui bagaimana proses tindak pidana tersebut, yakni kapan, di mana, dengan apa, bagaimana dan apa akibatnya. Autopsi juga bertujuan mengetahui identitas korban serta mengetahui identitas pelaku tindak pidana.
Ketika korban meninggal dan identitas belum diketahui, pemeriksaan kedokteran forensik harus segera dilakukan. Sebab setelah 12 jam akan terjadi pembusukan jenazah. "Sehingga korban semakin sulit dikenali dan akan hilangnya penyebab pasti kematian akibat pembusukan."
Bila korban hidup, misalnya akibat tindak pidana penganiayaan atau kekerasan seksual, harus segera dimintakan pemeriksaan kedokteran forensik juga. "Bila terlambat, dokter akan kesulitan menentukan benda apa yang menjadi penyebabnya, bagaimana cara benda tersebut di atas sampai menyebabkan luka, serta bagaimana pengaruh luka tersebut," Hastry menjelaskan.
Untuk korban tindak pidana seksual pun, kata dia, harus segera diperiksa untuk mengetahui ada tanda-tanda persetubuhan atau tidak. Jika memungkinkan bisa mengetahui identitas laki-laki yang menyetubuhi, apakah ada tanda kekerasan fisik atau obat-obat yang membuat tidak sadar.
Di Indonesia, ada undang-undang yang mengatur tentang permintaan kepada seorang dokter atau ahli lainnya untuk dimintai bantuan oleh penegak hukum. Ini untuk membuat terang perkara-perkara pidana yang diselidiki. Undang-undang itu berupa Hukum Acara Pidana.
Tugas keforensikan atau keahlian lainnya yang melekat seorang dokter wajib dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan benar sebab nasib orang sangat bergantung padanya. Korban tindak pidana pun harus mendapatkan keadilan yang memadai, sedangkan pelakunya harus mendapatkan balasan yang setimpal.
Pembuktian di Pengadilan
Hastry menyatakan dalam sistem peradilan di Indonesia, ilmu kedokteran forensik merupakan suatu pembuktian secara ilmiah. Pembuktian ilmiah dituangkan ke dalam konsep alat bukti sah di dalam KUHAP.
Para ahli forensik atau dokter forensik memberikan keterangan ahli untuk memperjelas suatu perkara di persidangan maupun dalam tahap pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum (Pasal 186 KUHAP). Mereka juga bisa melakukan pemeriksaan forensik terhadap suatu barang bukti dan kemudian menuangkannya dalam suatu alat bukti sah surat (Pasal 187 KUHAP).
"Kedua alat bukti sah tersebut sangat bermanfaat bagi hakim dalam membentuk keyakinannya, tentang perkara pidana yang ditanganinya untuk membuat putusan yang adil," ujar Hastry.
"Permintaan dilakukan untuk pemeriksaan forensik harus dilakukan penyidik secara resmi kepada ahli atau dokter forensik," ucapnya.
Dalam hal barang bukti itu berupa jenazah, orang hidup, bagian tubuh manusia, atau sesuatu yang berasal dari tubuh manusia, maka ahli yang tepat adalah dokter.
Pemeriksaan barang bukti manusia didasarkan atas Pasal 133 KUHAP disebutkan bahwa setiap dokter--apakah dia dokter ahli kedokteran kehakiman, dokter umum ataupun dokter spesialis-- secara implisit dapat dikategorikan sebagi ahli, sepanjang ia memang diminta secara resmi oleh penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk itu dan permintaan tersebut dalam kapasitasnya sebagai ahli.
"Pada Pasal 133 KUHAP tersebut memang sangat jelas, yaitu penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya," kata Hastry.
Pasal 179 ayat 1 lebih memperjelas lagi kewenangan dokter untuk memberikan keterangan ahli. Jadi status dokter tidak dapat dikategorikan sebagai ahli bila tidak ada permintaan resmi untuk itu.
Bila suatu tindak pidana terjadi hendaknya penegak hukum segera mengajukan permintaan bantuan dokter forensik, agar tidak disulitkan dengan hal-hal yang bisa merubah barang bukti dalam hal ini tubuh manusia.
"Dalam korban meninggal dunia penegak hukum segera meminta pemeriksaan luar dan dalam dengan kata lain autopsi," ungkap dia.
Di Indonesia autopsi forensik tidak merupakan keharusan bagi semua kematian. Namun sekali diputuskan oleh penyidik perlunya autopsi maka tidak ada lagi yang boleh menghalangi pelaksanaannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 134 KUHAP dan Pasal 222 KUHP.
"Dan tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya. Hasil autopsi tersebut dituangkan dalam bentuk visum et repertum yang memuat identitas korban," ujar Hastry.
"Menentukan secara pasti kematian korban, memperkirakan saat kematian, menentukan sebab kematian dan menentukan cara kematian atau memperkirakan cara kematian korban," Hastry menjelaskan.
Autopsi forensik dapat saja mengenai jenazah yang meninggal karena sebab alami (wajar), tetapi cara kematiannya pada saat dilakukan autopsi belum diketahui biasa kita sebut Sudden Natural Death.
Advertisement
2 Jenis Autopsi
Berdasarkan tujuannya, dikenal 2 jenis autopsi, yaitu autopsi klinik dan autopsi forensik atau autopsi mediko-legal. Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit, dirawat di rumah sakit, tetapi kemudian meninggal.
Tujuan dilakukannya autopsi klinik adalah menentukan sebab kematian yang pasti, menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan sesuai dengan diagnosis postmortem (setelah kematian).
"Juga untuk mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis klinis dan gejala-gejala klinik, menentukan efektivitas pengobatan, mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit, pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter," ujar Hastry.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, yang terbaik adalah melakukan autopsi klinik yang lengkap meliputi pembukaan rongga tengkorak, dada dan perut atau panggul, serta melakukan pemeriksaan terhadap seluruh alat-alat dalam/organ.
"Sementara autopsi forensik atau autopsi modiko-legal dilakukan terhadap jenazah seseorang berdasarkan peraturan undang-undang."
Tujuan autopsi ini, kata Hastry, adalah untuk membantu dalam hal penentuan identitas mayat, menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian. Selain itu, juga untuk memperkirakan saat kematian, mengumpulkan, dan mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab.
"Termasuk untuk mengetahui identitas pelaku kejahatan, membuat laporan tertulis yang obyektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum, melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan identitas serta penuntutan terhadap orang yang bersalah," kata Sumy.
Tanpa Izin Keluarga
Untuk melakukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat permintaan pemeriksaan atau pembuatan visum et repertum dari yang berwenang, dalam hal ini pihak penyidik.
"Izin keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang menghalang-halangi dilakukannya autopsi forensik, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang berlaku," Hastry menegaskan.
Dalam melakukan autopsi forensik, mutlak diperlukan pemeriksaan yang lengkap, meliputi pemeriksaan tubuh bagian luar, pembukaan rongga tengkorak, rongga dada dan
rongga perut atau panggul.
"Autopsi forensik harus dilakukan oleh dokter dan ini tidak dapat diwakilkan kepada mantri atau perawat. Baik dalam melakukan autopsi klinik maupun autopsi forensik, ketelitian yang maksimal harus diusahakan. Kelainan yang betapa kecil pun harus dicatat," tutur Hastry.
Dalam melakukan autopsi forensik, beberapa hal pokok perlu diketahui, di antaranya autopsi harus dilakukan sedini mungkin, lengkap, dilakukan sendiri oleh dokter, pemeriksaan dan pencatatan yang seteliti mungkin.
"Semua kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan jenazah harus dicatat sebaik-baiknya. Di samping itu, perlu juga dicatat 'penemuan negatif' (negative findings) pada kasus tertentu yang menunjukkan bahwa dokter pemeriksa telah melakukan pemeriksaan dan mencari kelainan tertentu, tetapi tidak menemukannya," kata dia.
Sedangkan hasil dari autopsi harus bisa memuat sebab kematian, seperti macam kejadian yang menimbulkan penyebab kematian.
"Bila kematian terjadi sebagai akibat suatu penyakit semata-mata, maka cara kematian adalah wajar (natural death). Bila kematian teradi sebagai akibat cedera atau luka atau pada seseorang yang semula telah mengidap suatu penyakit. Kematiannya dipercepat oleh adanya cedera atau luka, maka kematian demikian adalah kematian tidak wajar (unnatural death)," Hastry menjelaskan.**
Advertisement