Liputan6.com, Jakarta - DPR resmi melantik Ade Komaruddin atau Akom sebagai Ketua DPR. Politikus Partai Golkar itu didapuk jadi Ketua DPR menggantikan Setya Novanto yang bertukar posisi menjadi Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah mempertanyakan legalitas pelantikan tersebut. Sebab, sampai saat ini Golkar tidak mempunyai kepengurusan sah pascadicabutnya Surat Keputusan (SK) Kepengurusan Partai Golkar oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham).
Artinya, pelantikan itu bertentangan dengan UU MD3 dan perundangan terkait lainnya.
‎"Apabila pelantikan sesuai dengan norma dan prosedur lain, apakah UU MD3 atau UU lain telah terpenuhi, maka itu legal. Tapi manakala tidak memenuhi unsur UU yang terkait dengan proses pelantikan Ketua DPR, maka dengan sendirinya pelantikan itu gugur demi hukum," ujar Basarah di sela Rakernas PDIP I di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa 11 Januari 2016.
Dia mengatakan partainya akan mengkaji dan melihat perkembangan politik ke depannya. Sebab, DPR sebagai lembaga publik tidak akan lepas dari mata masyarakat yang terus mengikuti perkembangan politik di sana.
"Jadi manakala tidak sesuai, maka batal demi hukum. Dengan sendirinya keputusan DPR tidak mengikat demi hukum," ujar Basarah.
Baca Juga
Karena itu, dia melihat DPR perlu merevisi UU MD3 terutama mengenai kursi Pimpinan DPR. Seharusnya, lanjut Basarah, partai pemenang lah yang menjadi Pimpinan DPR.
"Saya kira itu normal. Tapi kalau revisi hal itu harus datang dari kesadaran kolektif fraksi di DPR. Sehingga kalau revisi prinsipnya harus diawali kesadaran fraksi di DPR. Kalau pun ada agenda perubahan, tidak perlu menimbulkan kegaduhan," ucap Anggota Komisi III DPR.
Wakil Ketua Fraksi DPR PDIP Arief Wibowo‎ juga melihat hal yang sama. Sebab, saat pelantikan Ade dilakukan, Golkar sedang tidak memiliki legalitas. Beda ketika dulu saat Novanto dilantik, Golkar masih solid dan memiliki kepengurusan yang sah serta jelas.
"Problemnya di konsolidasi Golkar. Saat Novanto legalitasnya ada dan Golkar solid, sekarang kan tidak ada legalitas," ujar Arief.
Untuk itu, lanjut Arief, jalan terbaik saat ini adalah Golkar mempercepat konsolidasi partainya untuk menentukan kepengurusan mana yang sah. Apakah versi Munas Bali atau Munas Ancol. Sehingga, nantinya Golkar kembali melegalisasi kepengurusannya ke Kemenkumham.
"Hemat saya agar tidak menimbulkan pertanyaan dan konflik, lebih baik Golkar menyelesaikan aspek legalisasi‎," tandas Arief.