Liputan6.com, Jakarta - Anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) kerap tiba-tiba menghilang dari keluarganya. Ketua Gafatar DIY, Yudhistira mengungkap alasannya.
Dia mengatakan, selama menjadi ketua, Yudhistira sudah memindahkan ratusan anggota dari DIY ke luar Jawa. Anggota yang pergi ke luar Jawa ini berjumlah 100 - 150 orang pada 2014 hingga 2015 lalu.
"Sudah setahun lebih, selama mereka pergi tidak ada masalah," ucap Yudhistira saat dihubungi di Yogyakarta, Selasa 13 Januari 2016.
Program ke luar daerah itu menurutnya tidak hanya ke Kalimantan, tetapi juga Bali, NTB, dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia. Pemindahan anggota ini, ujar dia, dilakukan untuk program eksodus dan mendirikan daerah khusus di wilayah baru.
Program ke Kalimantan, misalnya, Gafatar menyediakan lahan 5.000 hektare. Namun lahan tidak berkumpul satu daerah saja tapi tersebar, salah satunya di Mempawah, Kalimantan Barat.
"Mereka dapat kerjaan, dan peluang usaha nasional apa salahnya, dan selama ini tidak ada masalah," ujar Yudhistira.
Baca Juga
Tak Ada Larangan Salat
Advertisement
Yudhistira juga mengaku heran dengan informasi tentang anggotanya yang dilarang salat dan puasa. Sebab selama dia menjadi ketua periode 2012-2015 organisasinya tidak pernah melarang anggotanya untuk salat. Apalagi, ujar dia, anggota Gafatar tidak hanya beragama Islam, tetapi ada pula yang beragama lain.
"Ini yang perlu saya klarifikasi, di Gafatar itu anggotanya tidak hanya Islam ada pula orang Nasrani, etnis China, Konghucu. Jadi tidak mungkin saya melarang anggota saya untuk beribadah. Mengenai salat tidak salat itu urusan masing-masing, bukan ranah Gafatar. Keyakinan itu masing-masing," kata Yudhistira.
Ia juga menegaskan tidak ada nama Ahmad Musadeq dalam struktur organisasi Gafatar baik di tingkat nasional atau daerah.
"Sesepuh di Gafatar DIY itu saya, kalau nasional tidak ada kaitannya dengan Ahmad Musadeq. Tidak pernah ada nama Ahmad Musodeq dalam struktur nasional," ujar dia.
Menurutnya, dalam keanggotaan Gafatar bukanlah suatu keharusan untuk mengikuti pandangan sesepuhnya, termasuk Ahmad Musadeq.
"Banyak anggotanya, khususnya yang lebih dahulu pernah mendapatkan penyampaian pandangan Pak Ahmad Musadeq mungkin itu hanya sekadar padangan. Lalu apakah para sahabat itu sepakat atau tidak itu bukan keharusan mengikuti pandangan," ujar Yudhistira.*