Sukses

Di Wilayah ini, Gafatar Dilarang Sejak 2012

Masyarakat menentang, karena keberadaan Gafatar meresahkan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah melarang organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sejak 2012.

Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kulonprogo Tri Wahyudi, mengatakan pada 2012 Gafatar berkembang di Kecamatan Sentolo. Tapi masyarakat menolak keberadaan mereka.

"Ada hal yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Kecamatan Sentolo, masyarakat mengajukan keberatan," kata Tri Wahyudi di Kulonprogo, Yogyakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (14/1/2016).

Kemudian, pada 1 Agustus 2012, Bupati Kulonprogo mengeluarkan surat larangan kegiatan Gafatar di seluruh wilayahnya.

Saat itu, kata dia, keberadaan organisasi berlambang Matahari Terbit di Kecamatan Sentolo berpotensi menimbulkan konflik. Namun, setelah ada keputusan bupati, kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat Kecamatan Sentolo kembali normal.

Ia mengatakan pada Januari 2015, pengurus Gafatar Kulonprogo kembali mendaftarkan organisasinya ke Pemkab Kulon Progo.

Langkah mereka mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Isi amar putusan MK tersebut intinya, ormas yang hendak mendaftarkan suatu ormas yang tidak berbadan hukum, dapat melakukan pendaftaran di tempat kedudukan ormas yang bersangkutan tanpa memerlukan surat keterangan terdaftar baik dari bupati atau wali kota, gubernur, maupun menteri.

Saat itu, kata Tri, bupati mengumpulkan jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkominda), organisasi masyarakat Sentolo, dan pengurus Gafatar. Pada koordinasi tersebut, keberadaan Gafatar tetap ditolak masyarakat.

"Saat audiensi dengan ormas, dan masyarakat tidak setujui. Atas dasar ini, kami belum memberikan izin pendirian Gafatar di Kulonprogo," kata dia.

Selain itu, jajaran Forkominda tidak setuju dengan substansi yang diajukan pengurus Gafatar yakni "Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa", seharusnya "Dengan Nama Tuhan Yang Maha Esa".

"Secara subtansi tidak ada masalah, seperti setia pada Pancasila, namun yang menjadi masalah adalah pembukaan yang berbunyi Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa," lanjut dia.

Namun demikian, ia mengakui kegiatan yang dilakukan di tengah masyarakat bersifat gerakan sosial seperti donor darah dan memberikan bahan kebutuhan pokok.

"Kegiatan ini tidak bisa dilarang karena tidak ada unsur kriminal atau melanggar hukum," kata Tri Wahyudi.