Sukses

Dirut PLN: Proyek 'Dewie Yasin Limpo' Pakai APBN

Sofyan Basir mengaku tidak pernah melakukan pertemuan dengan Komisi VII DPR apalagi Dewie Yasin Limpo untuk membahas proyek tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT PLN Persero Sofyan Basir menyelesaikan pemeriksaannya sebagai saksi terkait kasus dugaan suap pembahasan proyek pembangunan infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) tahun anggaran 2016 untuk Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.

Sekitar 5 jam diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Dewie Yasin Limpo, Sofyan mengaku bahwa proyek ratusan miliar tersebut sama sekali tidak menggunakan anggaran perusahaannya.

"Proyek itu tidak ada anggaran PLN, itu murni APBN, jadi tidak masuk ke PLN," ujar Sofyan Basir di Gedung KPK, Jakarta, Senin (25/1/2016).

Meski tidak menggunakan anggaran dari PLN, namun kepada penyidik KPK yang memeriksanya, Sofyan juga menjelaskan mengenai prosedur yang diterapkan perusahaannya dalam menangani sebuah proyek.

"Kita jelasin prosedurnya kalau yang APLN (Anggaran PLN) kita jelaskan juga bagaimana dengan IPP bagaimana juga dengan PLTMH hidro, kita jelaskan semua," kata dia.

Pria yang datang mengenakan kemeja putih ini juga mengaku tidak pernah melakukan pertemuan dengan Komisi VII DPR apalagi Dewie Yasin Limpo untuk membahas proyek tersebut.

"Nggak ada pertemuan," ucap dia.

Namun, ia mengaku mengenal sosok Dewie Yasin Limpo yang saat ini menjadi tahanan KPK lantaran terlibat suap pembahasan anggaran di Komisi VII DPR.

"Kenal, (Dewie Yasin Limpo) kan Komisi VII, mitra (PLN). Tapi PLN kan tidak ikut campur," pungkas Sofyan.

Perkara suap ini terkuak saat petugas KPK menggelar operasi tangkap tangan pada 20 Oktober 2015. Dewie Yasin Limpo ditangkap KPK bersama staf ahlinya yang bernama Bambang Wahyu Hadi dan Rinelda Bandaso usai menerima suap dari Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adi dan Direktur PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiadi.

Selain mengamankan orang-orang tadi, KPK juga berhasil mendapatkan uang sebesar SG$ 177.700 yang disimpan pada bungkus makanan ringan.

KPK kemudian menetapkan Irenius dan Setiadi sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara, Dewie Yasin Limpo, Rinelda Bandaso, dan Bambang Wahyu Hadi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Mereka diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.