Sukses

TPA Galuga Bogor Masih Diblokade, Sampah Ditumpuk di Truk

Tak satu pun truk sampah bisa masuk ke TPA yang terletak di Kecamatan Cibungbulang tersebut.

Liputan6.com, Bogor - Penutupan akses menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat masih berlanjut hingga hari ini. Tak satu pun truk sampah bisa masuk ke TPA yang terletak di Kecamatan Cibungbulang tersebut.

Para sopir pun tak kehilangan akal. Mereka menyiasati agar sampah tak menumpuk di sejumlah pasar dan tempat penampungan sampah warga dengan memuatnya ke dalam truk.

Edi Supriadi (53), sopir truk sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor mengatakan, sampah dari pasar maupun warga tetap diangkut ke dalam truk. Kendati, sampah tersebut tidak bisa dibuang ke TPA.

Sejak adanya pengadangan ini, pengangkutan sampah tidak seperti biasanya. Dari 6 ton, armada truk dipaksa memuat 10 hingga 12 ton sampah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penumpukan sampah di pasar maupun bak sampah.

"Kalau tidak diangkut semua malah jadi masalah. Makanya diangkut aja dulu supaya tidak numpuk dan berserakan di jalan," beber Edi saat ditemui di Kantor DKP Kota Bogor, Selasa (26/1/2016).

Hingga hari kedua penutupan akses, ratusan truk yang bermuatan sampah terparkir di Jalan Paledang, Jalan Pemuda dan Panaragan.

"Mau dibuang ke mana, TPA Galuga masih diblokir warga. Besok juga enggak tahu nih, sampah ke angkut atau tidak, soalnya truknya sudah penuh semua," kata Jufri, sopir truk sampah lainnya.

Pemulung Kehilangan Penghasilan

Pengadangan truk sampah dari Kota/Kabupaten Bogor juga membuat ribuan pemulung di TPA Galuga tak bisa beraktivitas. Sebab, tak ada satu pun truk sampah yang membuang sampah ke TPA Galuga.

"Dari kemarin berhenti aktivitas karena tidak ada truk yang membuang sampah," ujar salah seorang pemulung di TPA Galuga, Wawan (34).

Dampak pengadangan ini, imbuh Wawan, merugikan warga setempat yang mengais rezeki dari tumpukan sampah. "Tidak ada sampah, jadi enggak ada penghasilan," ujar warga Dukuh, Kecamatan Cibungbulang.

Dari hasil memungut sampah lalu menyortir plastik dan barang bekas, ia bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari bahkan menyekolahkan kedua anak.

"Sehari bisa dapat Rp 75 ribu-Rp 50 ribu. Lumayan bisa buat makan. Nah, sekarang ditutup, enggak dapat penghasilan," keluh Wawan.