Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus‎ Rahardjo secara pribadi menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Namun, secara kelembagaan, pihaknya akan menyampaikan secara tertulis hal-hal apa saja yang perlu dan tidak perlu direvisi ke DPR.
"Pemberantasan korupsi tidak mungkin KPK sendiri, tapi harus ada kerjasama dengan polisi dan kejaksaan, tapi kami sudah banyak melakukan supervisi dan koordinasi," kata Agus Rahardjo saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 27 Januari 2016.
Revisi UU KPK ini merupakan inisiatif pemerintah. Pemerintah pun memberikan opsi terdapat 4 poin yang akan direvisi, yakni masalah penyad‎apan, dewan pengawas, dapat keluarkan Surat Perintah Pemberhentian Perkara (SP3), dan penyidik independen.
Baca Juga
"Kami ingin mengetahui dewan pengawas itu bagaimana kerjanya. Kami menginginkan agar dewan pengawas etik saja, bukan soal teknis," ucap Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Laode menambahkan, KPK tidak perlu diberikan kewenangan mengeluarkan SP3. Dikhawatirkan, SP3 akan dimanfaatkan atau disalahgunakan.
Dia berpendapat, KPK dapat merekomendasi kepada kejaksaan atau kepolisian agar mengeluarkan SP3. "Kita harus kerja hati-hati untuk menetapkan tersangka orang lain," tutur Laode.
Sementara, terkait penyadapan, Wakil Ketua KPK Basariah Panjaitan menambahkan, penyadapan bukan sebagai pencegahan, namun tahap penyelidikan secara tertutup yang dilakukan secara berulang.
"Perbedaannya adalah polisi harus minta izin pengadilan, kita maunya izin penyadapan harus berada di internal KPK. Takut nanti orangnya terbakar (hilang)," kata Basariah.
Senada dengan Laode, Basariah juga menuturkan, tidak adanya kewenangan SP3 sudah 1 kesatuan di KPK.
Advertisement
"Takut orang-orang berpikiran dapat berapa Bu, kalau ada SP3 bisa dilakukan penetapan persidangan. Kedua, koordinasi polisi dan kejaksaan kita bisa berikan kasus agar dikeluarkan SP3," jelas Basariah.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK lainnya Alexander Marwata lebih menyoroti keberadaan UU pembatasan transaksi tunai untuk segera direvisi. Sebab, UU tersebut akan mengurangi tindakan suap dan lainnya.
‎"UU pembatasan transaksi tunai itu akan mengurangi tindakan suap," kata Alexander.