Sukses

Jerat Pemburu Ginjal

Kini IP harus merasakan sakit di perut bagian kanan dan sesak di dadanya. Padahal, sebelumnya tidak pernah merasakan.

Liputan6.com, Jakarta - HLL baru-baru ini mengeluh kesakitan di bagian perutnya. Ketika diperiksa kesehatannya, ternyata ditemukan ada bekas operasi ginjal di tubuhnya.

Tahanan Polres Garut, Jawa Barat disebut-sebut sebagai korban perdagangan ginjal, yang diduga dilakukan AG dan DD.

Dugaan perdagangan organ tubuh ini bermula pada Juni 2015 lalu. HLL diduga dibujuk AG menjual ginjal sebelahnya seharga Rp 80 sampai Rp 90 juta.

Setelah harga disetujui, AG kemudian menyampaikan 'kabar baik' itu kepada DD. HLL lalu diperiksa ke laboratorium di rumah sakit kawasan Bandung, Jawa Barat.

"Setelah dinyatakan ginjal korban dalam keadaan sehat, kemudian hasil laboratorium tersebut diberikan kepada penerima ginjal," kata Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Umar Surya Fana, di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu 27 Januari lalu.

Usut punya usut, AG dan DD diduga orang suruhan HS, yang diduga berperan sebagai penerima pesanan dari rumah sakit.

Operasi pengangkatan ginjal pun dilakukan. HLL dibawa ke rumah sakit di wilayah Jakarta. Di rumah sakit tersebut, sudah menunggu si penerima ginjal yang siap membiayai operasi si pendonor.

Ginjal | via: metrodepok.net

HS diduga menjual harga kepada pembelinya kisaran Rp 200 hingga Rp 300 juta per ginjal. Namun saat itu, HLL hanya menerima uang tak lebih dari Rp 70 juta.

"Bahwa penerima ginjal harus membayarkan pembelian ginjal Rp 225 juta kepada tersangka HS. Dengan diawali down payment (uang muka) Rp 10 sampai 15 juta dan sisanya setelah operasi. Tadi uang yang diberi ke korbannya tidak lebih dari Rp 70 juta," beber Umar.

AG dan DD ditangkap pada Rabu 13 Januari lalu di kawasan Garut, Jawa Barat. Sementara, tersangka HS diringkus di rumahnya kawasan Bandung, Jawa Barat 4 hari setelah penangkapan orang suruhannya itu.

Dari tangan ketiganya, polisi menyita 2 telepon genggam, 1 buku tabungan atas nama HS, 1 kartu ATM, 1 kartu kredit, 1 komputer, dokumen rekam medis, dan hasil scan.

Mereka dikenakan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan terancam kurungan penjara maksimal 15 tahun.

"Mekanisme pengambilan organ sudah dilanggar karena sebelum proses operasi, harusnya diwawancara dulu. Lalu soal pekerjaan si pendonor, pendonor dengan pekerja kasar harusnya tidak boleh mendonorkan ginjalnya," kata Umar.

Motif Ekonomi

Sungguh mengejutkan sekaligus miris. Hasil penyelidikan sementara pihak kepolisian, diduga ada sebuah desa yang sebagian banyak warganya hanya memiliki satu ginjal.  

Namun kepolisian masih menyelidiki apakah kondisi warga tersebut ada kaitan dengan tindak pidana yang dilakukan HS dan 2 pesuruhnya, AG dan DD.

Desa tersebut diduga berada di wilayah Bandung Selatan atau Kabupaten Bandung, Jawa Barat. "Wilayah Majalaya," ujar Ajun Komisaris Besar Arie Dharmanto, Kepala Unit Kejahatan Perdagangan Orang, kepada Liputan6.com, Kamis 28 Januari.

Modus HS dan anak buahnya mencari calon 'pendonor' ginjal pun relatif mudah. Mereka menyasar warga yang terlihat kurang mampu secara finansial.

Seperti yang dialami IS, yang melakukan transplantasi ginjal pada 23 Agustus 2015, di sebuah rumah sakit besar di Jakarta Pusat. Saat itu dia tak mengenal dokter yang mengoperasi dan kepada siapa ginjalnya berpindah.

Dari calo yang merekrut IS, ginjalnya diduga dijual kepada HU. Dia juga tak tahu berapa nilai jual ginjalnya. Namun, usai operasi dan kembali ke rumahnya di Bandung Selatan, AG dan DD memberi uang Rp 75 juta.

Ilustrasi Gagal Ginjal (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Istri IS sebelumnya menolak suaminya menjual ginjal. Tapi AG dan DD terus membujuk istri IS, agar memberi izin suaminya menjual ginjalnya.

Memang, saat itu kondisi ekonomi IS dan keluarganya terbilang sulit. Utang mereka ada di mana-mana. Jangankan membayar utang, sekadar untuk makan pun mereka kesulitan.

Alhasil, istri IS pun terbujuk rayuan AG dan DD yang juga mantan 'pendonor' ginjal. Kepada istri IS, AG menyebut dirinya mengantongi Rp 70 juta untuk satu ginjalnya.

Prosesnya sama seperti HLL. Setelah IS menyepakati secara lisan untuk diangkat ginjalnya, AG mengantar IS ke sebuah laboratorium di Bandung. Sementara DD menyiapkan administrasi untuk IS yang akan menjalani tes kesehatan.

Tiga hari setelah diperiksa, IS lalu diboyong ke Jakarta untuk diperiksa lanjutan di rumah sakit kenamaan di Jakarta. Usai diperiksa, dia menunggu 2 pekan terkait kabar pengangkatan ginjalnya.

Jatuh Ketiban Tangga

Kejadian serupa juga dialami IP. Alasan kesulitan ekonomi, dia terpaksa menjual ginjal sebelahnya. Dia menyepakati ginjalnya dihargai Rp 75 juta, berharap ada perubahan nasib.

IP pun menjalani pengangkatan atau transplantasi ginjal pada Agustus 2015 lalu.

Sebagian uang ia gunakan untuk menutupi utang dan kebutuhan sehari-hari. Sisanya digunakan untuk membuka usaha penyewaan Play Station.

Namun, nasib baik belum berpihak. Play Station dan televisi sewaannya dicuri. Kini, dia juga harus merasakan sakit di perut bagian kanan dan sesak di dadanya. Padahal, sebelumnya dia tak merasakan keluhan itu.

(Foto: Earthtimes.org)

Sama seperti yang lainnya, IP menjalani operasi pengangkatan ginjal di sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Sebelum menjalani operasi, IP menandatangani dokumen persetujuan dari pihak rumah sakit.

Dokumen tersebut berisi pernyataan pendonoran ginjal dan persetujuan pengangkatan ginjal kepada penerima ginjal. Dalam dokumen itu tertuliskan IP sebelumnya bekerja kepada HS. IP juga tidak diberikan salinan dokumen tersebut.

Setelah menjalani operasi, IP diminta datang kembali ke rumah sakit. Namun, dia tidak pernah datang dengan alasan jauh dan tidak ada yang mengantar. Sementara DD dan AG tidak pernah lagi menghubungi IP pascapengangkatan ginjal.

Pesanan Rumah Sakit

Di depan penyidik, HS mengaku mendapat pesanan dari rumah sakit di Jakarta. Baik rumah sakit sewasta maupun negeri. Diduga ada 3 rumah sakit yang terlibat perdagangan haram ini.

Usai mendapat 'order' dari 3 rumah sakit tersebut, HS menghubungi anak buahnya, AG dan DD untuk mencari calon 'pendonor' ginjal, yang umumnya warga kurang mampu.

Pendonor lalu menjalani 2 kali pemeriksaan kesehatan, yakni di sebuah rumah sakit di Bandung dan Jakarta.

"Di Jakarta, periksa darah di 2 rumah sakit swasta. Lalu dilakukan transplantasi ginjal di rumah sakit utama," tutur Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Umar Surya Fana, Jakarta, Rabu 27 Januari lalu.

Tiga rumah sakit tersebut diduga melanggar prosedur atau menyalahi aturan. Sebab, menurut ketentuan medis, pekerja kasar tidak diperkenankan menjadi pendonor.

"Kebanyakan korban kerjanya sebagai tukang ojek, tukang becak, petani, dan sopir. Ini sudah terjadi malapraktik" pungkas Umar.