Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dicecar tim penasihat hukum terdakwa Alex Usman, pada saat sidang kasus dugaan korupsi pengadaan UPS di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Satu di antara hal yang ingin ditegaskan tim penasihat hukum Alex adalah pengetahuan Ahok terkait kemunculan pengadaan UPS pada APBDP 2014. Mereka menyatakan pengadaan itu sudah muncul sejak Agustus 2014.
"Bapak tahu enggak, pengadaan UPS sudah dimasukkan ke BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) Agustus (2014)?" tanya seorang penasihat hukum Alex.
Ahok pun menjawab, dirinya tidak tahu ada pengadaan UPS yang muncul. Padahal tidak masuk dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (KUAPPAS-RAPBDP) 2014.
Menurut mantan Bupati Belitung Timur itu, jika dirinya mengetahui pengadaan UPS, tentu bawahannya sudah dipecat.
"Saya enggak tahu, kalau tahu, sudah saya tempeleng duluan, sudah saya pecat (orangnya)," tegas Ahok.
Jawaban yang terlontar dengan nada tinggi itu sempat membuat penasihat hukum Alex kaget. Dia mencoba menenangkan Ahok untuk tidak asal bicara.
"Enggak usah main tempeleng-tempeleng, Pak," ucap penasihat hukum Alex.
Pernyataan itu membuat Ketua Majelis Hakim Sutardjo menegur sang penasihat hukum. Dia meminta sang penasihat menanyakan sesuai posisi Ahok sebagai gubernur, bukan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
"Tolong penasihat hukum bertanya sesuai dengan porsi saksi selaku Gubernur DKI," tegur Sutardjo.
Â
Baca Juga
  Â
Pokok Pikiran Dewan
Saat bersaksi, Ahok juga diminta menjelaskan bagaimana pokok pikiran DPRD boleh dimasukkan ke APBD.
Ahok mengatakan dalam penyusunan APBD kegiatan biasanya berasal dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang berjenjang dari tingkat RW hingga provinsi. Pokok pikiran dewan dari hasil reses juga bisa dimasukkan.
Tapi, lanjut Ahok, dewan tidak bisa asal memasukkan pokok pikiran ke dalam APBD. DPRD harus melalui paripurna untuk menyampaikan pokok pikiran, agar bisa dibahas dalam APBD.
"Pokok pikiran ada. Tapi dari reses biasa dikirim ke eksekutif lalu diserahkan di paripurna. Tidak bisa diam-diam masukin," jelas Ahok.
Setiap penyusunan APBD, kata Ahok, memang memiliki mekanisme yang sama. Kunci dari penyusunan anggaran ada pada penentuan KUAPPAS. Bila program tidak masuk KUAPPAS, tidak bisa dianggarkan atau sengaja memasukkan anggaran tertentu di luar priorotas.
"Tidak mengarah ke situ, makanya kuncinya di KUAPPAS. Pagunya tidak berubah, hanya ada penggemukan atau pengurangan anggaran bukan menambah sesuatu yang baru," pungkas Ahok.
  Â
Pada kasus UPS, petugas sudah menetapkan 4 tersangka. Dua dari eksekutif Alex Usman dan Zaenal Sulaiman dan lainnya dari legislatif Fahmi Zulfikar (Hanura) serta Muhammad Firmansyah (Partai Demokrat). Sejauh ini, baru Alex Usman yang perkaranya disidangkan.
Alex Usman yang merupakan mantan Kepala Seksi Prasarana dan Sarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan UPS di 25 SMA/SMK pada Suku Dinas Pendidikan Menengah di Jakarta Barat pada APBD Perubahan tahun 2014.
Dia didakwa melakukan korupsi bersama-sama dengan Harry Lo (Direktur Utama PT Offistarindo Adhiprima), Harjady (Direktur CV lstana Multimedia Center), Zulkarnaen Bisri (Direktur Utama PT Duta Cipta Artha), Andi Susanto, Hendro Setyawan, Fresly Nainggolan, Sari Pitaloka, serta Ratih Widya Astuti.
Tidak hanya itu, ada nama anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta yang juga anggota Badan Anggaran, Fahmi Zulfikar Hasibuan, dan Ketua Komisi E DPRD DKl Jakarta, HM Firmansyah. Mereka didakwa bersama dengan Alex turut melakukan korupsi.
Menurut jaksa, perbuatan Alex sebagai pejabat pembuat komitmen telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menggelembungkan harga dalam pengadaan UPS. Alex juga melakukan penunjukan langsung dalam proses lelangnya, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 81.433.496.225.
Atas perbuatannya, Alex didakwa jaksa telah melanggar Pasal 2 ayat 1 atau 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.