Sukses

Saksi Ahli: Lie Detector Hanya Menakut-nakuti Jessica

Jessica hingga kini tak jua mengakui perbuatan yang dituduhkan itu.

Liputan6.com, Jakarta - Polisi telah menerapkan berbagai metode pemeriksaan terhadap Jessica Kumala Wongso sebelum menetapkan perempuan 27 tahun itu sebagai tersangka pembunuh Wayan Mirna Salihin. Mulai dari pemeriksaan lie detector hingga hipnoterapi dilakukan penyidik untuk menemukan titik terang pembunuhan Wayan Mirna Salihin.

Sebab, polisi yakin Jessica-lah yang menuangkan racun sianida ke dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna Salihin di Kafe Olivier, Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu 6 Januari 2016.

Masalahnya, Jessica hingga kini tak jua mengakui perbuatan yang dituduhkan itu. Namun, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan lie detector tak mampu bekerja maksimal.

"Lie detector itu apaan? Omong kosong. Lie detector itu alat polisi untuk menggali informasi dari tersangka atau terdakwa. Tapi di pengadilan tak diakui sebagai alat bukti," ucap Sarlito di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat 5 Februari 2016.

 

Ia mengaku tak pernah mau membaca hasil pemeriksaan lie detector seseorang. Menurut dia, lie detector hanya digunakan kepolisian untuk menakut-nakuti seseorang agar orang tersebut berkata jujur dan mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

"Enggak pernah saya periksa itu hasil lie detector. Enggak pernah saya baca. Bohong itu. Itu kan buat nakut-nakutin tersangka. Buat ngaku," ujar Sarlito.

Tak Berkepribadian Ganda

Jessica pun dinilai seorang yang cerdas dan kepribadian normal. Tak ada tanda yang mengindikasikan ia bipolar atau berkepribadian ganda dari hasil psikotesnya. Hal itu disampaikan Profesor Doktor Sarlito Wirawan Sarwono.

"Jadi Jessica itu seorang yang sehat. Secara inteligensi cerdas, secara kepribadian sehat. Tidak ada masalah. Jadi analisis-analisis yang menyebut (Jessica) kepribadian ganda dan sebagainya itu ndak ada. Sangat normal," beber Sarlito.

Meski demikian, Sarlito mengaku ingin bertatap muka langsung dengan Jessica. Sebab, selama ini polisi hanya meminta analisanya berdasarkan secarik kertas psikotes yang dikerjakan Jessica. Sarlito mengatakan, seharusnya hari ini ia dijadwalkan bertemu Jessica. Namun ia merasa kelelahan, sehingga polisi menjadwalkan ulang pertemuan mereka.

"Belum-belum (bertemu Jessica langsung). Saya minta di-reschedule. Tadinya sudah mau disiapkan. Tapi saya sudah tidak kuat lagi. Saya terlalu capek," ujar Sarlito.

Ia mengungkapkan rasa penasarannya membaca kondisi psikologis Jessica. Sarlito berharap ia segera bertemu alumnus Billy Blues College yang ia nilai cerdas itu.

"Ya sebagai psikolog, harus tatap muka dong. Pengen tahu," tutup Sarlito.