Sukses

Ini Dampaknya Bagi DPR Bila Revisi UU KPK Dilaksanakan

Sebanyak 54,4 persen masyarakat menilai revisi UU KPK untuk melemahkan

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah bersiap menggodok revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Wacana untuk memperlemah lembaga itu kembali mencuat.

Berdasarkan survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia, pada 18-29 Januari 2016,, melakukan wawancara tatap muka terhadap responden dan margin of error sebesar lebih kurang 2,5 persen itu, mayoritas publik menilai revisi melemahkan KPK.

"Sebanyak 54,4 persen masyarakat menilai revisi UU KPK untuk melemahkan. 34,1 persen mengatakan hal itu untuk memperkuat KPK. Dan 11,5 persen, memilih tidak tahu atau tidak menjawab. Semua ini diambil dari responden yang mengikuti berita tentang rencana revisi tersebut," ujar peneliti senior Indikator, Hendro Prasetyo, di kantornya, Jakarta, Senin (8/2/2016).

Meski mayoritas merupakan responden diambil dari yang mengikuti berita tentang rencana revisi tersebut, menurut Hendro, dari 1.500 responden dari seluruh provinsi Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas, hanya 22,5 persen yang mengikuti berita itu.

"Sebanyak 22,5 persen yang mengikuti berita revisi UU KPK. 77,3 persen hal ini tidak mengikuti. Dan yang memilih tidak menjawab 0,2 persen," jelas Hendro.

Karena itu Hendro mewanti-wanti DPR, jika hal tersebut justru semakin mengurangi kepercayaan publik terhadap para anggota Dewan.

Karena berdasarkan survei lembaganya, Januari 2015, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR mencapai 59,2 persen. Namun, setelah munculnya wacana revisi UU KPK, pada Januari 2016 tingkat kepercayaan publik terhadap DPR turun menjadi 48,5 persen.

"Maka dapat diperkirakan, jika revisi UU KPK terus dilaksanakan, trust (kepercayaan) masyarakat terhadap DPR akan menurun," sebut Hendro.

2 dari 2 halaman

Pemilih Jokowi dan Prabowo soal Revisi UU KPK

Hasil survei dari Indikator Politik menunjukkan pula Joko Widodo dan Prabowo Subianto menempati tempat teratas jika Pemilu Presiden dilakukan hari ini. Kedua nama itu mendapat suara pemilih terbanyak dan bersaing menjadi RI 1.

Hendro Prasetyo, Peneliti Senior Indikator Politik? mengatakan, dalam surveinya didapat hasil Jokowi mendapat 28,5 pemilih, sementara Prabowo 14,5 persen. Hasil itu jika Pilpres dilakukan sekarang ini.

"Pilpres 2019 masih sekitar 3 tahun lagi. Tapi jika pilpres diadakan saat ini, Jokowi paling banyak dapat suara, Prabowo di urutan kedua," ujar Hendro dalam jumpa pers hasil survei di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (8/2/2016).

Selain kedua nama itu ada nama-nama lain. Namun perolehannya jauh lebih sedikit ketimbang Jokowi dan Prabowo. Sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono dengan 1,5 persen, Jusuf Kalla 1,5 persen, Hary Tanoesoedibjo 1 persen, Basuki Tjahja Poernama alias Ahok 0,6 persen, Aburizal Bakrie alias Ical 0,6 persen, Megawati Soekarnoputri 0,5 persen, Rhoma Irama 0,5 persen, dan lain-lain.

"Sementara untuk yang tidak tahu, tidak menjawab atau masih rahasia masih banyak, yakni 48,2 persen," beber Hendro.

Begitu juga jika Pilpres hari ini dilakukan melalui mekanisme semiterbuka, Jokowi dan Prabowo tetap teratas. Jokowi mendapat 37,4 persen dan Prabowo 20,4 persen. Disusul nama-nama lain di antaranya Ridwan Kamil, Megawati, Jusuf Kalla, Ical, Hary Tanoe, Rhoma Irama, dan Ahok yang yang presentase perolehannya jauh lebih sedikit.

Soal Revisi UU KPK

Lebih jauh, dari hasil survei ini juga ditemukan massa pemilih Jokowi dan Prabowo yang mengikuti pemberitaan terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Massa Jokowi yang mengikuti perkembangan ada 23 orang dan yang tidak 77 orang. Sedangkan Prabowo 26 orang dan yang tidak 74 orang.

Di sini juga terlihat, massa pemilih Jokowi yang menyebutkan revisi UU KPK adalah upaya untuk melemahkan KPK sebanyak 58 orang dan sebaliknya yang menilai revisi itu untuk memperkuat KPK hanya 32 orang. Sementara massa pemilih Prabowo yang berpikir revisi untuk melemahkan KPK sebanyak 47 orang dan yang berpandangan revisi untuk memperkuat KPK sebanyak 35 orang.

Adapun survei ini menggunakan metodologi dengan teknik wawancara kepada warga negara yang punya hak pilih dalam pemilu pada 18-29 Januari 2016. Jumlah sampel sebanyak 1.550 responden. Berdasar jumlah sampel itu diperkirakan margin of error kurang lebih 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Kontrol kualitas terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20 persen dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih. Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.

Video Terkini