Sukses

Ini Tahapan Revisi UU KPK

Menurut Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan setiap orang berhak menolak revisi UU KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi atau (UU KPK) saat ini sedang ramai dibahas di kalangan elite politik.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Subagyo mengatakan, revisi UU ini sangat sensitif. Karena itu pihaknya mengundang para pakar dan ahli hukum walau pun tanpa kehadiran KPK.

"Ketidakhadiran ini bukan menutup dari pada KPK untuk tidak hadir lagi, tapi tentunya tidak pada saat sekarang. Karena ini kita sudah ada tahapan-tahapan penjadwalan, harmonisasi dibatasi waktu, dan kita juga harus membahas RUU lainnya. RUU lainnya yang juga harus dibahas," kata Firman di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (9/2/2016).

Firman mengatakan pihaknya telah sepakat menyelesaikan revisi UU KPK ini di Baleg. Jika sudah selesai, akan kembali dibahas bersama-sama dengan KPK dan DPR melalui Badan Musyawarah (Bamus) untuk menetapkan, apakah akan kembali dibahas dalam Baleg atau dibentuk panitia kerja (Panja) atau panitia khusus (Pansus).

"Nanti kita mengundang lagi pendalaman yang lebih tajam lagi dari pakar dan juga kemudian dari KPK itu sendiri. Dan termasuk pemerintah, karena UU ini pada dasarnya akan dibahas sesuai amanat konstitusi, UU dibahas oleh DPR bersama Presiden RI. Nah, Presiden nanti menugaskan menterinya, siapa yang akan ditugaskan," papar Firman.

Yang jelas, kata Firman, mekanismenya adalah sesuai dengan rencana strategi pemerintah dan tidak bertentangan dengan UU lainnya. "Dibawa ke pleno sini, ketok palu, kemudian nanti dilaporkan ke Bamus. Bamus dirapatkan, dibawa ke paripurna."

"Begitu paripurna disahkan, maka pimpinan DPR bersurat kepada Presiden untuk minta persetujuan pembahasan tingkat 1, di mana pemerintah juga segera mengirimkan DIM terhadap usulan DPR ini, 4 poin atau 4 pasal yang telah disampaikan," sambung Firman.

Terkait diundangnya para pakar untuk mendengarkan pendapat dan memberikan masukan mengenai revisi UU KPK , kata Firman, pakar tersebut adalah orang-orang yang membidani lahirnya KPK.

"Beliau ini yang merancang UU-nya, yang merancang KPK sendiri, dan tentunya beliau menyampaikan setelah dalam proses perjalanannya dengan lepas ada kontroversi di sana-sini. Tentunya para pakar yang mendesain UU ini, itu kan harus kita dengarkan," pungkas Firman.


Biar Seimbang

Rencana revisi UU KPK banyak yang tidak setuju. Karena itu, revisi tersebut dinilai melemahkan ‎KPK sebagai lembaga spesialis pemberantas korupsi.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam)‎ Luhut Binsar Pandjaitan tak mau ambil pusing dengan pihak-pihak yang menolak revisi itu.

"Sah-sah saja mereka nolak," ujar Luhut di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa.

Menurut Luhut, pemerintah mendukung revisi UU KPK ini lantaran bukan untuk melemahkan lembaga yang kini dipimpin Agus Raharjo cs itu. Justru sebaliknya, revisi itu untuk menguatkan KPK dalam bekerja.

"Spirit kita bikin baik. Biar seimbang. Kita mau bikin universal, muaranya kan kaya Hong Kong. Tidak ada aneh-aneh. Tidak ada pemerintah ingin KPK jadi lemah," kata dia.

Salah satu poin revisi yang ditolak banyak pihak adalah mengenai pembentukan Dewan Pengawas. Sebab, keberadaan lembaga itu dianggap akan memangkas kewenangan KPK.

"Ya tidaklah. (Dewan Pengawas) tugasnya mengingatkan, ini begini. Itu begitu," ucap Luhut.

Saat ini draf revisi UU KPK sudah masuk dalam pembahasan Baleg DPR. Ada 4 poin dalam revisi UU KPK itu yang menjadi sorotan publik.

Keempat poin itu, yakni soal pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas, kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta pengangkatan penyelidik dan penyidik independen.