Sukses

Hakim Agung: KPK Bisa Jadikan Andri Justice Collaborator

Krisna menduga Andri tak seorang diri. Sebab, ada kemungkinan pihak lain di MA yang berperan serta memuluskan hal ini.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Kepala Sub Direktorat Kasasi dan PK pada Direktorat Tata Laksana MA, Andri Tristianto Sutrisna. Dia ditangkap bersama Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi dan seorang kuasa hukum Ichsan bernama Awang Lazuardi Embat.

Penangkapan itu terkait dengan perkara kasasi Ichsan dalam kasus korupsi pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008. ‎Diduga, Andri menerima suap dari pihak Ichsan agar bisa menunda keluarnya salinan putusan kasasi, sehingga eksekusi hukuman juga dapat ditunda.

Salah satu majelis kasasi perkara kasasi yang terigester dengan Nomor 1867 K/Pid.Sus/2015 itu, Hakim Agung Krisna Harahap mengatakan, menjadi tugas KPK untuk membongkar siapa yang terlibat dengan Andri dalam kasus ini. KPK bisa membuat Andri 'bernyanyi' saat menjalani pemeriksaan-pemeriksaan oleh penyidik.

"Ya, bisa dengan menjadikan Andri sebagai justice collaborator atau dengan cara lain. Penyidik lebih tahu soal ini," ujar Krisna kepada Liputan6.com saat berbincang ‎lewat sambungan telepon, Rabu (17/2/2016).

Krisna menjelaskan, ‎putusan kasasi Ichsan dan kasasi-kasasi perkara lainnya harus melewati proses minutasi, yakni pembuatan salinan putusan. Pembuatan salinan putusan ini pastinya melewati tahap pengoreksian dan perbaikan.

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, majelis menandatangani salinan putusan yang sudah jadi. Selanjutnya, Panitia Muda Pidana Khusus MA akan mengirim salinan putusan tersebut ke pengadilan pengaju dan pihak-pihak berperkara.

Krisna mengaku, proses minutasi ini membutuhkan waktu yang tidak cepat. Sebab, selain kekurangan operator di kepaniteraan, MA juga harus melakukan minutasi ribuan perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK) yang masuk tiap tahunya.

Andri Tak Seorang Diri

‎Namun, selama proses minutasi berjalan, MA telah mengirim petikan putusan kepada para pihak berperkara. Petikan putusan itu sudah sangat kuat dijadikan dasar bagi jaksa untuk mengeksekusi seorang terpidana. Termasuk mengeksekusi Ichsan.‎

"Persoalannya, kenapa tidak dieksekusi? Dengan petikan putusan saja sebenarnya bisa segera dieksekusi. Salinan putusan kan bisa menyusul," ucap Krisna.

Di sini Andri ditengarai memanfaatkan proses minutasi itu dengan 'menjual' informasi mengenai kapan keluarnya salinan putusan. Padahal tanpa 'dijual' pun, salinan putusan pasti akan lama keluarnya, karena proses minutasi itu.

 

Akan tetapi, Krisna menduga Andri tak seorang diri. Sebab ada kemungkinan pihak lain di MA yang berperan serta memuluskan hal ini. Apalagi, lingkup Andri di bagian perdata, bukan pidana khusus seperti kasus korupsi ini.

‎"Itu sebenarnya di luar kewenangan saya. Tapi mengapa bisa? Ya bisa saja, mungkin saja dia kerja sama dengan bagian pidana khusus atau bagian lain," kata dia.

Ungkap Komersialisasi Putusan

Karena itu, dia menambahkan, untuk membongkar jaringan komersialisasi salinan putusan ini tergantung dari penyidik KPK. Dia berharap KPK bisa mengungkap tuntas praktik komersialisasi salinan putusan kasasi ini lewat Andri.

"Ini tergantung hasil penyidikan KPK dari keterangan yang bersangkutan dan bukti-bukti lain agar bisa diungkap sejauh mana jaringan komersialisasi salinan putusan di MA. Kalau ini bisa dibuka semakin baik," ujar Krisna.

KPK sebelumnya menangkap tangan 6 orang pada Sabtu 13 Februari dini hari. ‎3 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, yakni Kasubdit Kasasi dan PK MA Andri Tristianto Sutrisna, Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi, dan seorang kuasa hukum Ichsan bernama Awang Lazuardi Embat.

Ichsan diduga memberikan suap kepada Andri melalui Awang. Suap diberikan dengan tujuan agar salinan putusan kasasi terkait perkara korupsi yang menjerat lchsan ditunda, sehingga eksekusi terhadap dirinya juga akan tertunda.

Ichsan diketahui merupakan terpidana kasus korupsi pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008. Namun hingga saat ini lchsan belum dieksekusi oleh pihak kejaksaan.