Sukses

Cerita Lokalisasi Kramat Tunggak Ditutup Saat Puncak Kejayaannya

Pada 27 April 1970, Gubernur Ali Sadikin menetapkan Kramat Tunggak jadi pusat lokalisasi.

Liputan6.com, Jakarta - "Enggak ada apa-apanya Kalijodo mah."

Kalimat itu mengawali perbincangan Liputan6.com dengan salah satu pria yang dulunya menggantungkan hidup di lokalisasi terbesar di Indonesia, Kramat Tunggak. Pria yang akrab disapa Akang itu pun mulai bercerita.

Ia mengatakan, lokalisasi Kramat Tunggak itu berada di kawasan Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara. Lokalisasi yang menampung birahi laki-laki saat itu justru tutup saat masa kejayaannya, yaitu tahun 1999.

"Lagi rame-ramenya itu pas ditutup. Ya, istilahnya udah kesohor ke luar negeri," kata Akang di Jakarta Utara, Minggu (21/2/2016) sore.

Ia menegaskan, pria hidung belang yang mengunjungi Kramat Tunggak saat itu tidak hanya lokal atau warga setempat, melainkan juga mancanegara alias orang asing.

Kramat Tunggak menjadi magnet bagi orang asing kala itu, sambung Akang, lantaran lokasi yang besar dan juga menyediakan kupu-kupu malam dari berbagai usia.

"Dulu jangan salah loh banyak juga bule yang datang kemari. Yah namanya juga lokalisasi terbesar. Jangankan kita (warga sekitar) bule (orang asing) juga pasti penasaran," ujar Akang.

Dengan semangat, Akang menerangkan sedikit perbedaan yang mencolok antara lokalisasi Kalijodo dan Kramat Tunggak. Yang pertama, dari segi wilayah dan jumlah rumah bordil, Kalijodo sudah kalah jauh. Yang kedua, tingkat nyaman dan keamanan di dua lokasi esek-esek tersebut.

"Kramat Tunggak mah aman bener. Dulu mah nggak ada istilah rampok atau malak di situ. Ya Kalijodo kan sering kita dengar banyak ribut terus mati di situ," kata dia.

Banyaknya orang asing yang datang ke Kramat Tunggak, selain penasaran, lokalisasi dengan luas sekitar 10 hektare lebih itu juga terhitung dekat dari Pelabuhan Tanjung Priok. Tak jarang warga Indonesia yang berprofesi sebagai pelaut menjadi guide dari pelaut asal luar negeri. Biasanya saat kapal bersandar.

"Ya kan deket dari pelabuhan. Tapi ya banyak juga bukan pelaut yang kemari (Kramat Tunggak). Ya aman banyak bule, orang pelabuhan masuk," ujar Akang.

Ladang Duit

Akang mengungkapkan, dirinya adalah salah satu orang yang menyesalkan dan terdampak langsung akibat ditutupnya lokalisasi Kramat Tunggak.

Sebab pundi-pundi uangnya datang lantaran menjual jasa pijit di lokalisasi tersebut. Ia mengaku memiliki banyak pelanggan di lokalisasi itu. Mulai dari PSK, germo atau pengunjung lokalisasi tersebut.

"Ya gimana nggak sempet berasa (sedih). Zaman (tahun) 1980-1990 itu di KR (Kramat Tunggak) mah nyari duit 50 ribu merem. Ya waktu itu yang jualan rokok atau makanan di sana harga bisa mahal tapi yang beli mah ada aja," ujar Akang. KR adalah sebutan buat Kramat kala itu.

Wajahnya dan usianya kini menua. Akang pun mengaku tak sanggup lagi jika harus menerima tawaran memijat lebih dari 3 orang. Namun kenangan Kramat Tunggak tak bisa hilang dari memori otaknya.

Yang jelas, ia mengaku senang menjadi bagian sejarah berdirinya lokalisasi yang dihuni ribuan kupu-kupu malam itu. Meski begitu perasaan sedih atau tidak terima atas penutupan Kramat Tunggak sudah mulai hilang.

"Ya baguslah sekarang udah jadi Islamic Center. Rezeki mah udah diatur juga. Tapi sejarah ya itu KR," tutup Akang.

Pada 27 April 1970, Gubernur Ali Sadikin menetapkan Kramat Tunggak jadi pusat lokalisasi. Tujuannya, agar lokalisasi  yang tersebar di wilayah di ibu kota bisa terpusat. Sehingga pemerintah bisa lebih mudah mengontrol.

Pada dekade 80 hingga 90-an, jumlah PSK di kawasan tersebut semakin tinggi hingga mencapai lebih dari 2 ribu orang dan ratusan germo. Membludaknya PSK dan semakin lebarnya lokalisasi Kramat Tunggak juga diklaim sebagai lokalisasi terbesar se Asia Tenggara kala itu.

Angka kriminalitas yang meninggi saat itu menjadi salah satu alasan ditutupnya lokalisasi ini. Akhirnya pada 31 Desember 1999, Gubernur Sutiyoso menutup lokalisasi Kramat Tunggak. Kini di atas lahan 12 hektar itu dibangun Jakarta Islamic Center.