Liputan6.com, Jakarta - Komisi I DPR menilai Program Bela Negara untuk 100 juta kader dalam waktu 10 tahun yang sudah diluncurkan oleh pemerintah melalui Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, masih menimbulkan perdebatan di masyarakat terkait peran dan fungsinya.
Sebab itu, Komisi yang membidangi masalah pertahanan ini berpandangan perlu dibuatkan UU khusus untuk mengatur peran dan fungsi program tersebut.
Baca Juga
"Bila bela negara difungsikan sebagai jejaring intelijen, perlu pembagian wewenang instansi negara yang mengkoordinirnya dan juga bila bela negara dianggap bisa menangkal terorisme, karena rakyat dibekali kemampuan militer, maka instansi negara mana yang memonitor bahwa kemampuan ini tidak disalahgunakan," kata anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Advertisement
Menurut dia, Program Bela Negara ini bermacam-macam bentuknya, mulai dari wawasan nasional seperti konsep Sosialisasi 4 Pilar yang sudah dilaksanakan oleh MPR, wajib militer maupun dimasukkan dalam kurikulum sekolah atau kurikulum multi instansi.
"Jadi, kita perlu mendalami konsep bela negara untuk 100 juta orang dalam 10 tahun itu apa saja," tegas Bobby.
Baca Juga
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini mencontohkan, Program Bela Negara di Israel itu adalah military service dan di Singapore itu dibentuk kemampuan militer taktis seperti menembak.
"Nah, Program Bela Negara 100 juta kader ini seperti apa, apakah sama dengan yang sudah dianggarkan, yang melatih kedisiplinan dan pemahaman wawasan kebangsaan atau military service tadi?" tanya Bobby.
Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) ini juga menambahkan, apabila sifatnya militer dan mengarah ke komponen cadangan, perlu payung hukum UU terlebih dulu sebelum bisa dianggarkan di APBN.
"Karena bila di dalam kurikulum bela negara masuk juga mengenai kemampuan intelijen dasar, siapa nanti yang monitor kader yang memiliki kemampuan ini agar tidak disalahgunakan," tandas Bobby.