Liputan6.com, Jakarta - Gempa berkekuatan 7,8 skala Richter (SR) yang mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada Rabu malam, juga dirasakan warga yang tinggal di Kota Padang. Meski guncangan lindu dari pusat gempa yang jaraknya ratusan kilometer itu tidak begitu kuat, warga Kota Padang tetap dibuat kaget.
"Saya sedang berada di rumah ketika gempa datang. Badan serasa diayun beberapa kali," ujar Yul Utama, seorang PNS Kota Padang saat dihubungi Liputan6.com, Rabu 2 Maret 2016 malam.
Baca Juga
Tak berapa lama kemudian, puluhan sirene tanda gempa berbunyi di sekitar Kota Padang. Sebab, informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan adanya potensi tsunami. Kabar inilah yang kemudian membuat panik warga dan memicu langkah untuk mengungsi.
Advertisement
Selain ke shelter, sebagian warga Kota Padang juga berbondong-bondong mencari lokasi yang lebih tinggi. Menggunakan mobil, sepeda motor bahkan berjalan kaki, mereka menyusuri Jalan By Pass yang mengarah ke Kampus Universitas Andalas di Limau Manis yang berada di perbukitan. Sebagian lagi menuju kawasan Indarung.
"Kawasan By Pass dinilai relatif aman karena berada di ketinggian 5-10 meter di atas permukaan laut (MDPL)," ujar Yurnaldi, seorang wartawan senior di Kota Padang yang sempat mengabadikan kemacetan di kawasan By Pass tersebut melalui kameranya.
Pada titik inilah di banyak media kemudian kita membaca tentang kepanikan yang melanda warga Kota Padang akibat gempa di Mentawai. Dikabarkan pula jalanan di Kota Padang dipenuhi warga yang akan mengungsi sehingga menimbulkan kemacetan.
"Adanya kepanikan masyarakat dan kemacetan lalu lintas saat evakuasi adalah manusiawi," sebut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulisnya.
Meski demikian, lanjut Sutopo, tindakan masyarakat yang masih memaksa untuk melakukan evakuasi dengan kendaraan tanpa mempedulikan kemungkinan terjadinya kemacetan, dapat menyebabkan terlambatnya evakuasi.
Padahal, mengungsi tidak selalu harus menjauh, bisa saja dilakukan dengan menaiki bangunan yang lebih tinggi yang ada di sekitar kita. Di balik itu, perilaku warga Kota Padang pada Rabu malam itu bisa dijelaskan jika melihat pada pengalaman sebelumnya.
Faktor Trauma Gempa
Sejatinya, warga Kota Padang atau Provinsi Sumatera Barat sudah akrab dengan gempa. Sebagai wilayah yang berada di Sesar (Patahan) Sumatera, warga Kota Padang kerap merasakan guncangan lindu. Namun, gempa serta tsunami Aceh pada Desember 2004 dan gempa Padang pada September 2009 telah mengubah cara pandang warga terhadap bahaya bencana ini.
Gempa dan tsunami Aceh seketika menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang. Demikian pula dengan gempa Padang pada 30 September 2009 yang meluluhlantakkan banyak bangunan tinggi di kota itu. Korban jiwa pun tak terhitung. Hal inilah yang kemudian menimbulkan trauma warga akan gempa, apalagi bagi warga Kota Padang yang tinggal dekat pantai.
Bila dirunut kembali kronologi gempa pada Rabu malam, lindu yang terasa tidaklah sekuat gempa-gempa besar yang pernah mengancam Kota Padang. Faktanya, memang tak ada kerusakan bangunan atau korban jiwa yang ditimbulkan oleh gempa tersebut. Namun, karena adanya bunyi sirene serta info ancaman tsunami, warga pun jadi panik.
"Mereka yang panik dan membuat kemacetan saat mengungsi itu umumnya warga yang tinggal di lokasi yang serba tanggung, dibilang dekat dari pantai tidak, dibilang jauh dari pantai juga tidak," ujar Fifi Syofiarti, dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Padang, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (3/3/2016).
Dia menjelaskan, bagi warga yang tinggal dekat dengan pantai, bisa langsung mengamati air laut tanpa harus terpengaruh dengan info tsunami. Sementara warga yang tinggal jauh dari pantai, ketakutan tak begitu dirasakan.
"Sementara yang tinggal tak jauh dari pantai, namun tak bisa juga dibilang dekat, yang terpikirkan hanya bagaimana menyelamatkan diri. Jadi, yang mengungsi itu sebenarnya hanya sebagian kecil warga Padang, berita di televisi saja yang bikin heboh," ujar warga Palinggam, Kota Padang ini.
Jangan Panik
Apa yang disampaikan Fifi ada benarnya. Bahkan, sebagian warga yang tinggal di pesisir pantai memilih untuk tidak buru-buru meninggalkan rumah menuju kawasan yang berada di ketinggian.
"Saya belajar dari peristiwa gempa dan tsunami Aceh. Tidak selalu gempa dan peringatan tsunami dihadapi dengan kepanikan," ujar Indrawarman, warga yang tinggal di kawasan Purus, pinggir pantai Kota Padang kepada Liputan6.com, Rabu malam.
Dia mengatakan, meski jarak rumahnya dengan bibir pantai Kota Padang hanya 300 meter, tak membuatnya buru-buru untuk bergerak untuk mengungsi. Sebaliknya, dia langsung menuju pinggir pantai.
"Dari yang saya pahami, tanda-tanda tsunami bisa dilihat langsung. Banyak info tadi malam yang mengatakan bahwa air laut sudah surut 5 meter. Karena itu saya langsung menuju ke pinggir pantai," jelas Indra.
Hasil pantauan langsung dia, kondisi air laut normal-normal saja. Tak ada tanda-tanda kalau air laut menyusut. Bukti ini yang membuat dia bertahan dan tak beranjak dari pinggir pantai.
"Setelah satu jam mengamati permukaan air laut, saya yakin tak akan ada tsunami, karena itu saya putuskan untuk tidak mengungsi," ujar PNS ini.
Di balik itu, dia juga memahami kalau sebagian besar tetangganya memilih untuk segera meninggalkan rumah untuk mengungsi guna mengantisipasi tsunami.
"Wajar saja, siapa yang mau menunggu tsunami datang seperti peringatan BMKG, lebih baik segera menyelamatkan diri," pungkas dia.
Harus Lebih Rasional
Jadi, bisa dikatakan bahwa sebagian besar warga Kota Padang sebenarnya bisa bersikap rasional dalam menghadapi gempa dan ancaman tsunami. Namun, karena kemungkinan menjadi korban sangat tinggi bagi mereka yang tinggal dekat pesisir pantai, kepanikan tak bisa dielakkan.
Penting untuk diingat untuk selalu bersikap rasional, bahkan ketika kepanikan datang. Menyelamatkan diri dan keluarga haruslah jadi prioritas, tapi banyak cara agar langkah yang diambil tidak menjadi kontraproduktif.
Lagi-lagi Sutopo mencontohkan beberapa kasus di Padang dan Banda Aceh, ketika masyarakat cenderung menuju dataran tinggi yang lokasinya bisa mencapai 1,5 km dibandingkan menggunakan bangunan evakuasi vertikal yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat tinggalnya.
Contoh-contoh kasus itu dikuatkan penelitian yang dilakukan Unsyiah dan JICA pada 2012, terhadap perilaku masyarakat dalam melakukan evakuasi saat menerima peringatan dini tsunami.
"Dalam penelitian itu diketahui 75% masyarakat mengungsi menggunakan kendaraan bermotor dan sebanyak 78% pengungsi terjebak dalam kemacetan sekitar 20 menit," papar Sutopo.
Dan, waktu sekitar 20 menit itu tentu sangat berharga untuk menghindarkan diri dari musibah yang lebih besar.