Liputan6.com, Jakarta - Pengacara Toipah, Ratna Batara Munti meminta Polda Metro Jaya tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Anggota Komisi IV DPR RI Fanny Safriansyah alias Ivan Haz. Asisten rumah tangga (ART) itu diduga menjadi korban penganiayaan politikus tersebut.
"Kita ini mau janjian sama Kanit Renakta (Remaja, Anak dan Wanita). Kita meminta tidak ada penangguhan penahanan, karena ini cukup serius dan dijadikan pembelajaran publik bahwa hukum harus ditegakkan sama di muka hukum," tegas Ratna yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Dia pun menyangkal pernyataan pengacara Ivan Haz, Tito Hananta Kusuma terkait adanya upaya damai. Dia menegaskan sedari awal kasus ini bergulir di kepolisian, pihak Ivan Haz dan kliennya tidak pernah bertemu.
Baca Juga
Jika memang ada uang ganti rugi, lanjut dia, harusnya diberikan melalui jalur hukum.
"Kita selalu menyampaikan, kuasa hukum dari korban sama sekali tidak ada perdamaian Sama sekali tidak ada pertemuan antara korban dengan keluarga tersangka, dan kalaupun mau ada ganti rugi atau apapun harus lewat jalur hukum. Jadi itu dimungkinkan karena hak korban mendapatkan ganti rugi," terang Ratna.
Dia mengaku pihak Ivan pernah menawarkan sesuatu untuk menempuh jalur damai. Namun, dia khawatir kesepakatan damai tersebut nantinya dijadikan senjata Ivan untuk memperingan posisinya di mata hukum dan masyarakat.
"Ada (tawaran), namun kita tidak mau membahas karena kita khawatir akan dimanfaatkan untuk menciptakan kebohongan publik lagi bahwa kita menerima perdamaian. Kita tidak membuka diskusi dan pembahasan," ucap Ratna.
Desak Ivan Haz Dipecat
LBH Apik selaku penasihat hukum Toipah, pembantu rumah tangga yang diduga dianiaya oleh anggota DPR Komisi IV Fanny Safriansyah atau Ivan Haz, juga menyambangi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Kedatangan Direktur LBH Apik Ratna Batara Munti itu dengan tujuan menyerahkan petisi online yang mendukung pemecatan Ivan Haz.
"Saat ini kita membawa lebih dari 20.000 petisi dari masyarakat yang dikumpulkan oleh situs change.org yaitu www.change.org/PenjarakanIvanHaz. Bahkan sampai saat ini (petisi) masih berjalan yang mendukung agar Ivan Haz dapat diberi sanksi berat berupa pemecatan," ungkap Ratna di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
LBH Apik menilai bukti-bukti pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Ivan Haz sudah ada. Tak hanya keterangan saksi tapi juga ada rekaman CCTV.
"Karena bukti-bukti pelanggarannya sebenarnya sudah ada dari kesaksian korban, CCTV, saksi-saksi lain yang sudah di-BAP di Bareskrim. Nah itu harusnya secara kode etik sudah cukup untuk bisa memproses dan terakhir kan MKD sudah datangi RS Aini," papar Ratna.
"Kita berharap tetap diproses, terlepas dari sudah ada perdamaian. Pertama, perdamaian ini harusnya tidak serta-merta menghentikan fakta bahwa ada pelanggaran kode etik dan faktanya ada penganiayaan yang sifatnya bukan delik aduan tapi umum. Ini harusnya tetap berproses," sambung dia.
Kasus Masinton
Selain itu, kedatangan LBH Apik juga dalam rangka menyerahkan petisi online kasus Masinton Pasaribu.
"Kita ingin MKD juga tidak hanya memproses kasus Ivan Haz, tapi juga kasus Masinton," ucap Ratna.
Ratna menegaskan keduanya harus diberikan sanksi agar kasusnya tidak kembali terulang.
"Ini dalam rangka Hari Perempuan Sedunia juga, ada persamaan hak hukum dan agar korban-korban dalam kasus serupa tidak mudah diintervensi dan ditekan oleh keluarga ataupun pihak-pihak lainnya, itu jangan sampai mengesampingkan penegakan hukum," tutur Ratna.
"Sanksi itu intinya harus ada. Tidak bisa dibiarkan pelaku kekerasan berkeliaran tanpa ada sanksi kode etik. Harus dipertanyakan layak tidak dia jadi anggota DPR melakukan kekerasan terhadap perempuan," lanjut dia.
Ratna menjelaskan jika Dita Aditia yang merupakan asisten pribadi Masinton yang diduga dianiaya mencabut laporannya karena ada tekanan dari keluarga, terutama ibunya yang tidak mendukung.
"Saya tidak tahu kenapa, tapi itu cukup berat tekanannya kalau tidak ada dukungan dari keluarga. Memang persoalannya adalah Dita mencabut kuasa dulu dari kami sebelum dia mencabut laporan. kami memang enggak bisa lakukan kuasa hukum ketika dia cabut laporan. Jadi kami intinya mendorong sebagai lembaga publik yang concern (peduli) dengan isu-isu perempuan," kata dia.
Ratna menjelaskan, Dita sudah mengetahui dan menyetujui agar MKD kembali memproses kasusnya dahulu.
"Kita sudah sampaikan dan dia (Dita) mendukung. Karena itu kan enggak ada kaitannya langsung sama dia, tapi karena ada tekanan politik yang besar, diancam dilaporkan balik dengan UU ITE, itu kan karena dia masih memproses. Tapi ini kan di luar dia (Dita)," Ratna menandaskan.
*** Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar mulai pukul 06.00-09.00 WIB. Klik di sini.
Advertisement