Sukses

Galau Pedagang Monas Soal Isu Es Teh Air 'Limbah'

Para pedagang terimbas isu es teh air 'limbah' Monas.

Liputan6.com, Jakarta - Pedagang di kawasan Monas, Jakarta Pusat, mengeluhkan omzet penjualan mereka yang menurun drastis. Hal ini menyusul adanya dugaan pembuatan es teh yang menggunakan air mentah.

"Besok ini bilang aja kalau kami bikin es teh-nya dengan air got atau air kencing," ujar seorang pedagang keliling di kawasan Monas, Karjo, kesal saat ditemui Liputan6.com di Monas, Minggu (13/3/2016).

Di kawasan tersebut, Karjo biasa menjual es teh, kopi seduh, pop mie dan rokok. Dia menuturkan, beberapa hari belakangan dagangan tidak laku. Banyak pengunjung yang memilih membeli kopi seduh di minimarket Stasiun Gambir atau di sekitaran kawasan Monas. 

"Banyak yang nanyain, apa air panas yang saya pakai dari got atau air kotor? Kan kesal jadinya, kami jualan cuma buat nyari makan dan bayar kontrakan," lanjut Karjo.

Namun, ia tak menampik jika dirinya dan penjual lainnya juga menjadi pengumpul gelas plastik, dan botol plastik bekas.

"Terserah Mas kalau enggak percaya, kami ngumpulin itu (gelas plastik dan botol plastik) untuk dijual kiloan, ya harus dicuci dulu itu baru ditimbang," ujar dia saat ditanya soal sesama pedagang yang ditangkap Satpol PP di kawasan Monas beberapa waktu lalu.

"Enggak lah, Mas, kami tetap beli gelas yang udah bersih. Cuma Rp 10 ribu satu rentengnya, ya kalau ditangkap Satpol PP namanya apes, ini juga saya waspada," lanjut Karjo.

2 dari 2 halaman

Kangen Diuber Satpol PP

Karjo tak sendiri, dari 10 pedagang yang ditemui di berbagai sudut kawasan Monas mengeluhkan hal serupa. Dagangan mereka mulai tak dilirik pembeli. Anehnya Satpol PP sudah mulai jarang mengganggu mereka berdagang.

"Biasanya terus diuber-uber, enggak bisa berhenti, kalau ada yang beli, cepet-cepet seduh kopi atau es tehnya. Tapi sejak 2 hari ini, udah jarang ketemu Satpol PP, kangen juga," kelakar Karjo.

Para pedagang itu sadar, berjualan di Monas adalah kesalahan. Tapi mereka beralasan, selain membantu pengunjung Monas kelas ekonomi menengah ke bawah, mereka juga hanya mencari nafkah.

"Iya, tau kalau di sini enggak boleh jualan. Tapi kan kami cuma bawa tentengan, enggak membawa gerobak atau asongan," jelas pedagang lainnya, Ros (36) sambil menenteng kardus yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga bisa digantungkan ke lehernya.

Dua termos, beberapa mi siap seduh, rentengan kopi instan berbagai merek bergantungan di kotak kardus Ros. Ia mengaku baru mengantongi Rp 40 ribu sejak pagi tadi.

"Itu kan belum cukup buat beli kopi, susu, es, dan mi buat jualan besok," lanjut Ros.

Beberapa pedagang mengaku kalau air panas dalam termos mereka berasal dari rumah makan sekitar kawasan Monas, bahkan sekitar kawasan RRI dan Balai Kota.

"Sekali isi (air panas dalam termos) bisa Rp 10 ribu atau Rp 15 ribu, tergantung orangnya sih. Kalau di rumah makan padang dekat Balai Kota cuma Rp 10 ribu sekali isi," kata pedagang kopi seduh bernama Man.

Untuk es yang mereka pakai, berasal dari pedagang es keliling yang memakai gerobak dorong. "Biasanya siang dan sore mereka datang, tergantung sih, mau es-nya berapa," lanjut Man.

Pantauan Liputan6.com di sekitar Monas, penjual es balok tersebut melapisi es balok mereka dengan kantong plastik dan dilapisi dengan karung. Setiap pedagang yang membeli, ditanyakan dulu, apakah mau dihancurkan langsung atau dibiarkan dalam bentuk balok.

Beberapa pedagang memilih langsung dihancurkan, sebagian lainnya menggancurkan sendiri es balok mereka dengan obeng atau ujung pisau.

"Sekarang Mas percaya mana? Kami pakai air got, air kencing, air kotor atau pakai apa?"