Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran Sorong tahap lll pada Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut (PPSDML) Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun anggaran 2011.
Pada kasus ini, KPK sudah menetapkan mantan Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby Renold Mamahit dan Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut Djoko Pramono, sebagai tersangka.
KPK pun memanggil Freddy Numberi yang merupakan Menteri Perhubungan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia diperiksa sebagai saksi untuk keduanya.
"Iya saya dikonfirmasi untuk (kasus) Pak Bobby dan Djoko Pramono," ujar Freddy usai diperiksa, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/3/2016).
Dia pun menegaskan pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran Sorong tahap lll itu, tak langsung melaluinya.
"Iya, itu zaman saya, tapi kan permasalahannya bukan langsung ke saya, tapi ada Pak Bobby," jelas Freddy.
Baca Juga
Dia pun membenarkan, proses tender dalam pembangunan itu, hanya berdasarkan keinginan kedua tersangka. Freddy pun mengklaim telah meminta tender ulang, setelah mengetahui adanya permasalahan.
"Itu memang prosesnya sesuai dengan mereka. Waktu terjadi dispute (permasalahan), saya memang suruh tender ulang," tandas Freddy.
Sebelumnya, kedua tersangka diduga menyalahgunakan wewenang hingga negara merugi Rp 40 miliar.
Bobby disebut menerima Rp 480 juta dan ikut membantu pemenangan tender. Bobby sempat bertemu dengan bekas General Manager PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan sekitar Bulan Februari 2011, di Gedung Kemenhub, Jakarta.
Hal yang sama juga dilakukan kepada Djoko Pramono. Dia disebut menikmati duit senilai Rp 620 juta. Djoko juga meminta perusahaan pelat merah untuk memberikan fee komitmen 10 persen untuk para pejabat Kemenhub yang berwenang dalam proyek tersebut.
PT Hutama Karya ini pun akhirnya mengalahkan 2 perusahaan peserta lelang lainnya, PT Panca Duta Karya Abadi dan PT Nindya Karya. PT Hutama Karya pun berhasil mendapat proyek dengan nilai penawaran Rp 92 miliar.
Akibat perbuatan keduanya, KPK pun menjerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam U Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.