Liputan6.com, Denpasar - Polemik kewenangan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) bukan hal baru. Polemik itu muncul sejak Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen.
Hal ini dipicu karena penempatan KY dalam kekuasaan kehakiman serta memberikan kewenangan pengawasan terhadap hakim, sehingga menjadi masalah antara 2 lembaga negara tersebut.
Kondisi ini mengundang reaksi dari MPR sebagai pembentuk UUD. MPR pun melakukan dengar pendapat dengan para akademikus.
Baca Juga
Baca Juga
Badan Pengkajian MPR bekerjasama dengan Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) membahas polemik tersebut. Kerja sama ini diwujudkan berupa Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Penataan Kewenangan Lembaga Negara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Diskusi ini dihadiri akademikus dari Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para unsur pimpinan serta anggota badan pengkajian MPR.
Kegiatan ini dibuka Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono dan didampingi Pembantu Rektor II Universitas Udayana yang mewakili Rektor.
"Polemik yang berkepanjangan ini menyita perhatian masyarakat luas, dan menjadi masalah ketatanegaraan yang serius di negara ini. Banyak pendapat yang menginginkan amandemen kembali UUD NRI 1945, khususnya dalam hal penataan kedua lembaga ini," kata Bambang Sadono dalam sambutannya di Denpasar di Hotel Ramada Bintang Bali, Jalan Kartika Plaza Kuta, Bali, Jumat (18/3/2016).
Advertisement
Hasil diskusi dalam FGD tersebut, baik narasumber maupun pembahas, sepakat eksistensi Komisi Yudisial harus dipertahankan dalam mewujudkan kekuasaan peradilan yang baik, sesuai dengan semangat reformasi dan kehendak pembentuk konstitusi melalui pengawasan.
Ke depan, terkait dengan pengaturan kewenangan perlu ada revisi terhadap UU MK, MA, dan KY agar adanya harmonisasi kewenangan. Namun, apabila revisi itu menemukan jalan buntu, maka amandemen UUD secara terbatas perlu dilakukan, dengan merekonstruksi kembali ketentuan Pasal 24 B ayat (1) UUD NRI 1945 dengan menegaskan wewenang Komisi Yudisial secara jelas sehingga tidak dianggap mencampuri kekuasaan kehakiman.
Di samping itu, hakim yang diawasi adalah hakim pada lingkungan Mahkamah Agung dan lingkungan Mahkamah Konstitusi.