Liputan6.com, Jakarta - "Ini guru aku masih hidup, meski sudah pakai kursi roda," teriak Lisa, seorang nenek 62 tahun sembari menunjuk foto kusam hitam putih yang diyakini sebagai guru Bahasa Mandarinnya disekolah dulu.
Suasana semakin riuh, gelak tawa memecah ruang pameran saat mantan murid era 1950-an berkumpul.
Ya, mereka adalah para alumni sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), sekolah yang sudah berumur 115 tahun dan diyakini sebagai sekolah etnis pertama di Indonesia.
Para alumni yang sudah lanjut usia tiba-tiba mendadak muda. Berdandan ala wanita mandarin cantik di film ternama IP Man. Ada yang sengaja memakai rambut palsu agar terlihat muda, ada pula yang tampil apa adanya.
Seperti geng kelas, mereka masuk ke ruang pameran di Sekolah Pahoa Kompleks Summarecon Gading Serpong, Kabupaten Tangerang, dengan berbondong-bondong.
Baca Juga
Tapi ada pula yang harus menggunakan kursi roda dan tongkat, lantaran usia tak bisa membohongi fisik yang sudah renta.
Advertisement
Baca Juga
Panitia sengaja mengangkat tema 'Mengingat Sejarah, untuk Menatap Masa Depan' di hari jadi sekolah ke-115 tahun ini. Ya, usia sekolah ini sudah lebih tua dari usia bangsa ini.
Ketua Pengurus YPP Pahoa Suryono Limputra menyatakan, sekolah ini sudah ada sejak 1900. Mereka membagi sejarah sekolah ini dalam 4 fase, yakni era 1901-1942, 1942-1957, dan 1954 hingga 1966.
"Kemudian kami difitnah di zaman Orde Lama dan Orde Baru, kami dianggap sekolah yang menganut paham pengkhianat. Hingga akhirnya vakum selama 42 tahun," ujar Suryono di Gading Serpong, Tangerang Selatan, Sabtu (19/3/2016).Hingga akhirnya, sekolah ini kembali dibuka pada 2008 hingga saat ini, dengan konsep yang lebih modern.
Pada era 1900-an dulu, mereka membuka sekolah di 2 tempat di bilangan Jakarta. Kini dua bangunan tersebut dikenal dengan SMAN 17 dan SMPN 54 Jakarta. Keduanya, dulu merupakan sekolah etnis pertama di Indonesia tanpa mengajarkan Bahasa Belanda, hanya Bahasa Mandarin, Melayu, dan Indonesia.
"Sekolah ini dibangun sebagai wujud upaya pendidikan komunitas Tionghoa yang ditelantarkan pendidikannya oleh Kolonial Belanda. Maka sebagai bentuk protes, tidak ada pengajaran Bahasa Belanda oleh kami," ujar Suryono.
Kunjungan Boedi Oetomo
Diakui dia, beberapa kali Boedi Oetomo sebelum membuat pergerakan kepemudaannya, juga berkunjung ke sekolah ini sebagai upaya mempelajari apa yang diajarkan sekolah tersebut. Sebab menurut dia, di sekolah inilah komunitas Tionghoa berkumpul menimba ilmu tanpa adanya campur tangan Belanda.
Keberhasilan mendirikan sekolah etnis inilah ternyata diikuti oleh etnis lain dalam 3 tahun terakhir. "Dari mulai berdiri kemudian berselang 3 tahun, berdiri berbagai sekolah etnis lain di Indonesia. Seperti Arab, Melayu, dan beberapa etnis lain," kata dia.
Bermunculannya banyak sekolah etnis di Indonesia pada era itu, ternyata cukup membuat ketar-ketir kolonial Belanda. Hingga akhirnya Belanda mendirikan sekolah nasional sendiri yang mewajibkan Bahasa Belanda sebagai pengantarnya.
Sampai akhirnya, sekolah ini harus ditutup pada masa Soeharto selama 42 tahun. Selama itu pula, para alumni terdahulunya sering berhubungan, baik dalam maupun luar negeri.
Hingga akhirnya bertemu Soetjipto Nagaria yang juga pemilik Summarecon, ternyata keturunan pendiri Tiong Hoa Hwe Koan yakni Nio (Liong) Hoey Oen yang juga tokoh Tionghoa di Batavia. Dan menghidupkan lagi sekolah yang sempat mati suri 42 tahun.